twitter


OKK UI 2010,
MENGABDI PADA ILLAHI, MENGUASAI BUMI INI

OKK UI 2010 memang belum dimulai.
Namun hawanya telah terasa sejak registrasi, 16-17 Juni 2010.

Menggabungkan gagasan dari banyak kepala ternyata memberikan kesan tersendiri.
Berawal dari pencarian kelompok pada 16 Juni silam lewat sms.

Tifah yang pertama kali sms, sekitar pukul 19 waktu itu.
Ia bilang kalau selain aku dan dia, ada yang lain lagi, Ria namanya.
Aku langsung 'oke' saja, kebetulan saat itu belum dapat kelompok.

Aku pun mencari kawan lain karena satu kelompok itu minimal empat orang dan maksimal enam orang.
Otakku pun searching, mencari siapa yang kira-kira belum dapat kelompok.
Tak lama, Ila sms.
Dia belum dapat kelompok ternyata dan mengajak untuk satu kelompok.
Alhamdulillah, nambah satu.

Aku coba sms Ruri dan Icha.
Soalnya dari siang aku memang sering smsan dengan mereka.
Mereka belum ada kelompok juga ternyata.
Akhirnya lengkap sudah.

19 Juni 2010
Depan Tangga Gedung G FKM

Kami berunding.
Menentukan tema tak memakan waktu yang lama juga.
Kala itu kita sepakat ambil tema "Wayang".
Meski cuma berlima, soalnya Icha lagi makan.
=)

Dua hari berlalu.
Ternyata belum ada yang menemukan point of view yang pas.
Email kita pun masih melompong.

21 Juni 2010
Ba'da Isya

Aku coba membaca kembali dua inspirator, Soe Hok Gie dan Chairil Anwar.
Sastra. Sastra. Satra. Itu yang aku baca.
Tiingg..
Lampu menyala dari otakku.
"Mengapa kita tidak ambil tema 'menulis' saja? Toh kedua tokohnya pun seorang penulis juga."
Tanpa pikir panjang aku kirim sms kepada semua teman.

Sayang,
keesokan harinya Tifah mengundurkan diri dari kelompok.
Alasannya, karena harus mengumpulkan langsung.

Aku mencoba kuat di tengah situasi terhimpit seperti ini.
Tema baru, anggota hilang satu.

Tapi kami tetap keep fight!
Yakin akan usaha dan kemampuan.

22 Juni pagi

Rencananya kami akan conference lewat ym.
Tapi aku telat dan yang lain ada acara juga.
Aku pun sebenarnya ada acara, harus gladi resik untuk perpisahan lusa.
Tapi tak apalah.
Setiap pilihan memang ada risikonya.

Aku ke Mayasari Plaza.
Sengaja cari gratisan, pakai hotspot.
Tadinya memang mau di sekolah.
Tapi ternyata error.
T_T

Aku masih bisa bertukar pikiran dengan salah satu anggota, Icha.
Syukurlah, banyak inspirasi lewat perbincangan singkat kami.

Esoknya,
'murudul' email dari teman-teman.
Ternyata memang tema ini lebih mudah.

Hampir tiap hari kami ke warnet.
Mengumpulkan bahan-bahan.
Data.
Foto.
Meski harus merogoh saku lebih dalam lagi.

Akhirnya,
28 Juni itu pun tiba.
Kita sudah yakin dengan kelengkapan data.
Aku yang bertugas untuk mengumpulkannya.
Entah mengapa, hati ini berkata, "Coba cek lagi. Buka dulu syarat-syaratnya."

Ternyata hati tak berbohong.
Kami belum pakai DAFTAR PUSTAKA.
Akhirnya aku harus kembali ke rumah.

Dan kini, sekitar pukul 1 siang,
dua jam sebelum deadline tugas itu telah dilayangkan kepada yang bertugas :
tugas28@okkui2010.com

Alhamdulillah...
Perjuangan kami baru di mulai..
Dan dengan segenap hati kami teriakaaan . .
MENGABDI PADA ILLAHI, MENGUASAI BUMI INI


essay pertamaku bersama teman-teman satu perjuangan di UI untuk tugas OKK 2010 =)


MEMBUDAYAKAN MENULIS SEJAK DINI,

MENYONGSONG MASA DEPAN YANG LEBIH BAIK

Tulisan diciptakan tidak hanya berupa satuan huruf, rangkaian kata, dan paduan kalimat yang ditumpahkan pada carikan kertas. Tulisan adalah ruh karena mampu menghipnotis dan menghanyutkan emosi pembacanya ke dalam dunia yang dideskripsikan oleh penulisnya. Melalui suatu proses penuangan, hasil pemikiran, hasil penelitian, dokumentasi peristiwa, informasi, dan perasaan, penulis mampu membangun sebuah tulisan. Meski tak jarang tulisan menjadi sebuah perdebatan dan perseteruan karena muatannya.

Bagi seorang penulis, menulis berarti menambah pembendaharaan pengetahuan karena ketika membuat suatu tulisan tidak hanya terpatok pada pemikirannya, melainkan dibantu dengan berbagai macam referensi.

Ada hal yang sering kali dilupakan tentang fungsi menulis, yakni sebagai obat alternatif dalam berkomunikasi. Dengan mencoba mengkomunikasikan maksud pemikirannya dengan bahasa tulisan, seseorang akan mampu sepenuhnya mengontrol emosi dan tekanan mental yang terjadi padanya dibandingkan jika diutarakan dengan bahasa lisan.

Menulis bukanlah suatu barang baru di kehidupan kita. Entah disadari atau tidak, potensi anak-anak untuk menulis sebenarnya sudah ada semenjak dini. Ketika masih berusia di bawah tiga tahun, mereka sudah mencoba membuat tulisan meskipun hanya mencoret-coret. Ada yang mencoret-coret di tembok, mencoret-coret di buku, mencoret-coret di meja, dan di tempat apapun. Ketika anak-anak belajar mengenal huruf, mereka mulai berusaha menuliskan huruf-huruf itu, meskipun masih ada kesalahan. Namun demikian, potensi menulis mereka kerap kali tidak berkembang karena selalu mendapat marah dari orang tua. Memang boleh saja orang tua menasehati untuk tidak membuat tulisan/coret-coret yang bukan pada tempatnya, namun sayangnya orang tua tidak segera mengarahkannya, misalnya dengan menyediakan buku tulis.

Kesadaran akan pentingnya menulis belum ditumbuhkan sejak dini. Tak heran jika sastrawan Indonesia, Taufik Ismail menyebut bahwa kita lumpuh menulis. Memang, menulis masih sesuatu yang asing bagi kebanyakan anak Indonesia, menulis seakan lumpuh di dunia mereka. Hanya di sekolah mereka mengaktialisasikan potensi menulisnya.

Graves (1983) memperlihatkan data bahwa 90% anak-anak yang baru masuk kelas satu SD merasa bahwa mereka bisa menulis dan sisanya menyatakan sebaliknya.

Terkadang, guru memberikan tema khusus saat membuat karangan. Graves (1983) menyatakan bahwa anak-anak yang selalu diberi topik karangan oleh guru cenderung panik kalau diperintahkan mengarang dengan topik yang diciptakannya sendiri. Mereka tiba-tiba tidak punya ide untuk mengembangkan pikirannya.

Kebanyakan anak diajarkan menulis, namun bukan secara kualitatif. Tapi berhenti pada penilaian kuantitatif semata sehingga potensi mereka jarang diasah dan dikembangkan untuk menjadi penulis yang baik. Tak heran jika saat ini asumsi menulis itu susah bagi sebagian besar remaja karena budaya menulis tidak diarahkan sedari dini.

Dengan asumsi menulis itu susah yang terpatri dalam pikiran mereka, krisis ketidakpercayadirian pun akhirnya muncul. Nyali mereka ciut karena merasa bahwa karya mereka tidak bagus. Akhirnya mereka lebih memilih jalan pintas, menjadi plagiator. Seperti yang kita ketahui, menulis tidak bisa lepas dari kehidupan kita, terutama di bidang pendidikan. Menulis opini, essay, hingga karya tulis.

Pada pertengahan abad ke 19, menulis menjadi senjata ampuh para generasi muda menabur segala pemikiran pribadi. Saat itu banyak tokoh muda yang lahir ke muka lewat tulisannya yang sangat kritis, idealis dan kreatif. Gagasan-gagasan mereka yang membuka cakrawala serta kekritisannya dalam memahami dan memperjuangkan permasalahan rakyat pun mendapatkan penghargaan dari dunia. Sehingga dapat dikatakan perjuangan pemuda masa orde lama berawal dari menulis.

Di Indonesia, tak sedikit wajah-wajah penuh idealisme yang menegakkan kemerdekaan dengan menulis. Sebut saja Soe Hok Gie. Pria keturunan China ini mengabdikan masa mudanya untuk menegakkan keadilan melalui menulis.

Ia merupakan satu dari sekian penulis produktif pada masanya. Tak jarang ia mendapatkan surat kaleng yang memakinya karena luapan idealisme yang tinggi. Ia memang kerapkali menulis kritik-kritik keras menentang pemerintah. Sejak masih sekolah dasar, ia sering menghabiskan waktunya untuk membaca. Pikirannya pun meluas. Tak heran jika pemikirannya melompat jauh dari teman-teman angkatannya.

Meski Soe Hok Gie tidak terlalu dikenal, namun ia adalah seorang figur pemuda yang luar biasa. Pemikirannya yang visioner, perasaannya yang dicurahkan untuk rakyat, jiwanya yang ‘digadaikan’ demi keadilan dan kemerdekaan negeri ini, dan tangannya yang terus menari di atas lembaran kebebasan belenggu ketimpangan masyarakat. Itulah Gie.

Sosok idealis lain yang namanya masih dielukan hingga saat ini adalah Raden Mas Soewardi Soeryaningrat atau yang lebih terkenal dengan nama Ki Hajar Dewantara. Meski tak sempat mengantongi ijazah dari sekolah dokternya di STOVIA karena sakit, namun ia abdikan hidupnya untuk menulis, berpolitik, bergelut di dunia pendidikan, dan aktif di berbagai organisasi sosial.

Pernah suatu saat ia diasingkan ke Belanda karena menulis dengan judul Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker. Isinya dianggap menghasut masyarakat dan memberontak pihak kolonial. Justru, di Belanda matanya semakin terbuka luas. Setelah kembali ke tanah air, ia memerdekaan rakyat melalui pendidikan dan tetap aktif menulis, terutama masalah pendidikan dan politik. Ia memang sosok jurnalis dan tokoh pendidikan yang luar biasa.

Kaum hawa pun sudah menggeliat sejak zaman pergerakan kemerdekaan dulu. RA Kartini salah satunya. Wanita yang tanggal kelahirannya dijadikan sebagai Hari Kartini ini memang seorang pejuang yang membebaskan wanita Indonesia dari kobodohan.

Meski ia bukanlah seorang jurnalis, namun ia menyuarakan aspirasinya dengan berkorespondensi dengan teman-temannya yang di Belanda. Bahkan ia pernah menyurati seluruh Departemen Pemerintah Hindia Belanda, kecuali Departemen Angkatan Laut (Marine), dengan nota yang berjudul “Berilah Pendidikan kepada bangsa Jawa”. Suratnya tak sekedar surat biasa. Surat-surat itu adalah ungkapan hati atas segala hal janggal yang ia rasa, pikir, dan alami semasa perjalanan hidupnya, terutama masalah pendidikan dan kebebasan wanita.

Tak mudah menyuarakan yang benar adalah benar dan salah adalah salah di tengah hawa membara dan kebrutalan di mana-mana. Keidealisan yang telah mengakar dalam sanubari merekalah yang menjadi energi untuk tetap konsisten memberikan ‘saham’ bagi peradaban dunia melalui pemikirannya. Meski akhirnya, satu persatu musuh bertambah dan semakin sedikit orang yang mengerti tujuan mulianya, namun mereka siap bertahan menjadi intelektual muda yang merdeka : sendirian, kesepian, penderitaan.

Ketertarikan para tokoh pada dunia menulis tidak datang begitu saja. Hal ini terbentuk karena kebiasaan membaca sedari dini. Memang, membaca dan menulis merupakan dua hal yang tak bisa dipisahkan. Bersyukur, saat ini budaya membaca sudah mulai digalakan hingga ke pelosok tanah air dengan fasilitas perpustakaan keliling, meski belum sepenuhnya merata.

***

Titik perjuangan tokoh-tokoh yang mengibarkan panji kebenaran melalui tinta penanya saat mereka mulai beranjak dewasa. Saat idealisme mulai matang dan panggilan jiwa untuk mengabdi mulai bergejolak di ulu hati.

Namun, belum banyak yang mengikuti jejak para pahlawan sebelumnya. Mengabdi pada negeri, mengeluarkan isi hati dengan mencurahkannya dalam lembaran carik.

Oleh karena itu, anak, sebagai generasi yang masih dalam masa pecarian jati diri dan membentukan pribadi, harus diarahkan ke dalam lingkungan yang mendukung untuk menjadi generasi pembangun bangsa.

Menulis salah satunya. Dalam ilmu psikologi, ternyata menulis memuat tiga komponen yang memang harus dimiliki oleh setiap anak, yakni :

· Kemampuan Kognitif, dalam hal ini berhubungan dengan kecerdasan intelegensi yang kita miliki, karena dengan menulis kognitif kita akan lebih aktif untuk memberikan dan mengeskplor pengetahuan yang selama ini kita ketahui.

· Kemampuan Verbal, dalam menulis biasanya kita sering mengulangi membaca tentang kesempurnaan isi tulisan yang kita tulis agar tulisan yang kita buat enak dan baik dibaca oleh orang yang akan membacanya.

· Kemampuan Psikomotorik, dalam menulis biasanya kita mempergunakan psikomotorik kita untuk terlibat dalam membuat tulisan sehingga kita akan lebih baik dan kreatif dalam membuat tulisan-tulisan.

Mengingat pentingnya menulis dan masih adanya kendala untuk membudayakan menulis, perlu dilakukan sebuah tindakan dari generasi muda untuk memperbaiki keadaan ini.

Salah satunya dengan membangun sebuah wahana khusus untuk membentuk komunitas penulis cilik agar menjadikan menulis sebagai bagian dari kebiasaannya sehingga potensinya pun bisa lebih terarah. Dalam wahana ini, tak hanya diajarkan menulis, namun jam membaca mereka ditambah dan diarahkan pula untuk berpikir kritis.

Targetnya adalah anak yang duduk di kelas III SD. Mengapa? kelas III merupakan sebuah masa di mana seorang anak sudah lancar dalam membaca dan menulis. Namun pola pikir mereka belum luas dan terbuka. Melalui wahana tersebut, mereka dilatih dan dibiasakan untuk menuangkan gagasan dan mengeksplorasi imajinasinya melalui menulis.

Namun, butuh waktu yang tidak sebentar. Sekira enam bulan untuk membiasakannya. Pertama adalah untuk mengetahui potensi dan kelemahan mereka. Kemudian membangun adaptasi yang menyenangkan melalui menulis. Hal berikutnya adalah mengarahkan mereka menjadi anak yang berwawasan luas dan memiliki pemikiran yang kritis serta peka terhadap kondisi lingkungan yang salah satunya melalui membaca. Karena pada penelitian yang dilakukan oleh Krashen (1984) tergambarkan bahwa penulis yang baik itu ternyata mereka yang gemar membaca sejak kecil, sering membaca koran, mempunyai banyak buku dan majalah di rumahnya. Disebutkan pula bahwa anak-anak yang “ketergantungan” akan buku menampakkan kemajuan menulus yang baik. Sehingga setelah enam bulan tersebut lahirlah anak-anak yang terbiasa membaca dan menulis, serta berpikir kritis.

Menulis adalah proses penuangan gagasan. Namun asumsi bahwa menulis itu susah dan ketidakpercayadirian menyebabkan orang enggan menulis. Anak-anak sebagai tunas penerus bangsa perlu diarahkan pada hal yang baik sedari dini. Menulis salah satunya. Dengan mengarahkan anak untuk menulis, berarti membangun anak yang rajin membaca dan berpikir kritis serta peka terhadap kondisi lingkungan pula. Zaman orde baru pun banyak tokoh yang menyampaikan idenya lewat menulis. Dengan adanya wahana khusus bagi anak, berarti menyiapkan generasi yang siap untuk membangun bangsa yang lebih baik.


It is my second blog.
The first blog is my history when I studied in Al Muttaqin Senior High School.

I hope this blog will be my witness in University of Indonesia.

Happy blogging friends.
And be my blog's readers.
^_~