twitter


Astagfirullah...
Ya Rabb..
Maafkan kekeliruan hamba beberapa hari kemarin..
Maafkan hati ini yang mungkin tak sepenuhnya untukMu..

Ya Allah, luruskanlah hati ini..
Bentengi hati hamba agar hati ini hanya untuk memilihMu dan memilih titisanMu..

Ampuni khilaf ini, Ya Rabb..

 Terima kasih Engkau telah tunjukkan siapa dia...

Terima kasih Engkau cemburu kepadaku..
Inginku, hati ini hanya untukMu...


Bulan yang berat di penghujung tahun.
Ternyata menjadi mahasiswa tidak hanya memikirkan bagaimana mengejar IPK dan lulus lebih cepat, tetapi bagaimana bisa bertahan hidup di tengah keganasan kota.

Uang menjadi salah satu hal yang 'menghidupi' manusia, termasuk aku.
Entah mengapa, pengeluaran makin hari makin menyusut.
Aku tidak tega jika harus meminta terus ke orang tua.
Udah bayar mahal, biaya hidup mahal, belum bisa irit uang lagi.
-_-'

salah satu hal yang bisa membuat saya bertahan hidup adalah seperti hari ini. Ikut seminar!
Seminar itu plus-plus soalnya.
Udah dapet ilmu, ketemu tokoh, dapet sertifikat, plus makan pula.
 =)
Sungguh sangat menyesal hari kemarin ada seminar di FE tidak aku hadiri.
Padahal udah daftar lhooo..
>.<

ditambah souvenirnya bagus-bagus. Terlebih makanannya.
Aku bisa bertahan hidup dari sini.

Mahasiswa.
Belajar.
Mengabdi.
Meneliti.

Tapi bagaimana bisa mengabdi kalau menghidupi juga belum bisa?

Ya Rabb, tunjukkan jalanMu.
Ke manakah aku harus meneruskan perjalanan ini?
Ke manakah aku harus mencari kehidupan yang lebih nyata selain menunggu  'kehidupan' yang belum jelas kapan lagi datangnya...?

Bismillah...


Biologi. Sebuah pelajaran yang membuatku menjadi kikuk. Aku harus bercokol dengan nama-nama Latin, mempelajari bentuk dan kehidupan suatu makhluk, dan melakukan penelitian.

Tiba akhirnya hari itu. Sabtu, 13 November, aku harus melawan rasa gentar yang selama ini menjalar. Hingga subuh materi belum dikuasai seluruhnya. Akhirnya kukuatkan hati untuk melangkah ke kampus tercinta.

Bertemu dengan teman-teman yang kelihatannya sudah mempelajari materi membuatku lebih termotivasi. Kucoba tuk hilangkan rasa gentarku dan mulai melangkah masuk ke ruangan.

"Tas dan hp tolong kumpulkan di depan." ujar Ibu Ema, dosen biologi.

Kumantapkan hati. Konsentrasiku mulai gamang. Hingga tiba saatnya soal di depan mata.
Tiga puluh soal.
Klik. Klik. Klik.
Satu persatu soal kujawab.

Aku mulai mendapatkan kepercayadirian. Soal yang aku dapat pernah kupahami sebelumnya, meski ada beberapa yang out of my brain.
>.<

Kuulang dari awal. Setelah dihitung, paling hanya 7-9 soal yang salah.
Akhirnya, kuklik 'Selesai'.
Nilai muncul.

SALAH 13!

Innalillahi...
Tak kuasa mata ini menahan tangis.
Aku ingin lari. Ingin pergi. Ingin keluar dari ketidaklogisan ini.

Tapi aku tetap tidak boleh memperlihatkan kelemahanku di depan mereka.
Di depan teman-teman.
Aku tidak ingin memberi aura negatif pada mereka.

Saking tak kuasanya, aku lari menuju halte dan Allah telah menyediakan bikun di depan mata.
Tanpa pikir panjang, aku lompat ke bikun dan berlenggang ke asrama.
Kutelepon mas dan mamah.
Ku-sms mamah dan bapak.
Tak kunjung ada respon.
Tangis ini tak bisa ditahan dan akhirnya memecah kebisuan di tengah siang.

Tapi aku tidak boleh begini terus.

Bangkit dan berubah!
SAYA MASIH BERHAK UNTUK MENDAPATKAN HASIL YANG LEBIH MAKSIMAL DARI INI!
Tegas kulantangkan dan kutekadkan dalam sanubari.

Beberapa menit kemudian, kondisiku sudah terkontrol dan melanjutkan perjalanan kehidupan.

Berbuat adalah Belajar, Bukan Hasil
Terima kasih, Kang Mahameru. (saya lupa namanya siapa)
Aku mendapat spirit dan makna hidup baru.

Kang Mahameru  adalah alumnus FE UI 2006.
Beliau telah mendirikan TPA Mahameru, saking ngebetnya ia untuk menjelajahi langit Mahameru.

Dari Mawar Merah memang diamanahkan untuk mengajar di TPA beliau.
Dan aku salah satu bagiannya.
Beliau memberitahu bagaimana mengajar, metodenya, tujuannya, proses hidupnya, kendalanya, suka dukanya, dan lalala-nya deh...

Aku, sebagai salah seorang yang diamanahi untuk mengajar, ternyata jangan pernah berpikiran bahwa aku lebih baik dari mereka, dari 26 mujahid dan mujadid yang lucu dan imut.
Aku harus memposisikan diri sebagai seorang yang sabar, benar-benar menanamkan hati, berniat untuk berbagi ilmu dan belajar juga dari mereka.

intinya, BELAJAR.. BELAJAR. BELAJAR..
Tak ada waktu untuk SOMBONG DAN HURA-HURA!

Terima kasih, Ya Allah...
Engkau telah memberikanku jalan yang lebih dekat kebenarannya dari kemarin...
=)


Sesudah Umar bin Abdul Aziz diangkat m'jadi khalifah & Amirul Mukminin, Umar langsung mengajukan pilihan kpd Fatimah binti Abdul Malik bin Marwan, isteri tercinta. Umar b;kata kpdnya, "Isteriku sayang, kanda harap dinda memilih 1 di antara 2."


Fatimah b'tanya kpd suaminya,"Memilih apa,kekanda?


Umar bin Abdul Aziz menerangkan,"Memilih antara perhiasan emas berlian yg dinda pakai dgn Umar bin Abdul Aziz yg m'dampingimu."


Kata Fatimah, "Demi Allah, dinda tdak memilih pendamping lbih mulia drpdmu, ya Amirul Mukminin. Inilah permata & seluruh perhiasanku."


Kemudian, Khalifah Umar bin Abdul Aziz menerima smua perhiasan itu & menyerahkannya ke Baitul Mal, khazanah negara kaum Muslimin. Sementara Umar bin Abdul Aziz & keluarganya makan makanan rakyat biasa, iaitu roti & sdikit garam.



Umar bin Abdul Aziz adalah sosok yang berkepribadian kuat, bermental baja, mampu mencarikan solusi terbaik dari setiap problematika yang ada dan memiliki analisa yang tajam.

Di antara karakteristik yang dimilikinya:
a.    Rasa takut yang tinggi kepada Allah I.

Hal yang menjadikan Umar bin Abdul Aziz begitu fenomenal bukanlah karena banyaknya shalat dan puasa yang dikerjakan, tetapi karena rasa takut yang tinggi kepada Allah dan kerinduan akan surga-Nya. Itulah yang mendorong beliau menjadi pribadi yang berprestasi dalam segala aspek; ilmu dan amal.
Dikisahkan pada suatu hari si Umar kecil menangis tersedu dan hal itu terdengar oleh ibunya. Lantas ditanyakan apa sebabnya. Beliau pun menjawab: “Aku teringat mati”. Maka sang ibu pun menangis dibuatnya

Pernah seorang laki-laki mengunjungi Umar bin Abdul Aziz yang sedang memegang lentera. “Berilah aku petuah!”, Umar membuka perbincangan. Laki-laki itu pun berujar: “Wahai Amirul Mukminin!! Jika engkau masuk neraka, orang yang masuk surga tidaklah mungkin bisa memberimu manfaat. Sebaliknya jika engkau masuk surga, orang yang masuk neraka juga tidaklah mungkin bisa membahayakanmu”. Serta merta Umar bin Abdul Aziz pun menangis tersedu sehingga lentera yang ada di genggamannya padam karena derasnya air mata yang membasahi.

b.    Wara’.
Di antara bentuk nyata sikap Wara’ yang dimiliki Umar bin Abdul Aziz adalah keenganan beliau menggunakan fasilitas negara untuk keperluan pribadi, meskipun hanya sekedar mencium bau aroma minyak wangi. Hal itu pernah ditanyakan oleh pembantunya, “Wahai khalifah! Bukankah itu hanya sekedar bau aroma saja, tidak lebih?”. Beliau pun menjawab: “Bukankah minyak wangi itu diambil manfaatnya karena bau aromanya?”.

Dikisahkan suatu hari Umar bin Abdul Aziz pernah mengidam-idamkan buah apel. Tiba-tiba salah seorang kerabatnya datang berkunjung seraya menghadiahi sekantong buah apel kepada beliau. Lalu ada seseorang yang berujar: “Wahai Amirul Mukminin Bukankah Nabi r dulu pernah menerima hadiah dan tidak menerima sedekah?”. Serta merta beliau pun menimpali, “Hadiah di zaman Nabi benar-benar murni hadiah, tapi di zaman kita sekarang ini hadiah berarti suap”.

c.     Zuhud.
Umar bin Abdul Aziz adalah orang yang sangat zuhud, bahkan kezuhudan yang dimilikinya tidaklah mungkin bisa dicapai oleh siapa pun setelahnya. Kezuhudan yang mencapai level tertinggi di saat ‘puncak dunia’ berada di genggamannya.

Malik bin Dinar pernah berkata: “Orang-orang berkomentar mengenaiku, “Malik bin Dinar adalah orang zuhud.” Padahal yang pantas dikatakan orang zuhud hanyalah Umar bin Abdul Aziz. Dunia mendatanginya namun ditinggalkannya”.

Pernahkan terbetik di benak kita seorang kepala negara ketika berkeinginan menunaikan ibadah haji, ia tidak bisa berangkat hanya karena uang perbekalannya tidak cukup? Pernahkah terlintas di bayangan kita seorang bangsawan yang hanya memiliki satu buah baju, itu pun berkain kasar? Si zuhud Umar bin Abdul Aziz pernah mengalaminya!

d.    Tawadhu’.

Keluhuran budi pekerti yang dimiliki Umar bin Abdul Aziz sangatlah tinggi. Hal itu tercermin dari sekian banyaknya karakteristik yang menonjol pada diri beliau. Di antaranya adalah sikap Tawadhu’nya.

Suatu hari ada seorang laki-laki memanggil beliau, “Wahai khalifah Allah di bumi!” Maka beliau pun berkata kepadanya: “Ketika aku dilahirkan keluargaku memberiku nama Umar. Lalu ketika aku beranjak dewasa aku sering dipanggil dengan sebutan Abu Hafs. Kemudian ketika aku diangkat menjadi kepala negara aku diberi gelar Amirul Mukminin. Seandainya engkau memanggilku dengan nama, sebutan atau gelar tersebut aku pasti menjawabnya. Adapun sebutan yang barusan engkau berikan, aku tidaklah pantas menyandangnya. Sebutan itu hanya pantas diberikan kepada Nabi Daud u dan orang yang semisalnya”, seraya membacakan firman Allah I,

) يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ (
Artinya: “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi”. (QS. Shad: 26).
Namun, ada yang lebih mengagumkan lagi! Kisah yang mencerminkan sikap Tawadhu’ yang dimilikinya; Kisah Umar bin Abdul Aziz dengan seorang pembantunya.

Pernah  suatu saat Umar bin Abdul Aziz meminta seorang pembantunya untuk mengipasinya. Maka dengan penuh cekatan sang pembantu segera mengambil kipas, lalu menggerak-gerakkannya. Semenit, dua menit waktu berlalu, hingga akhirnya Umar bin Abdul Aziz pun tertidur. Namun, tanpa disadari ternyata si pembantu juga ikut ketiduran. Waktu terus berlalu, tiba-tiba Umar bin Abdul Aziz terbangun. Ia mendapati pembantunya tengah tertidur pulas dengan wajah memerah dan peluh keringat membasahi badan disebabkan panasnya cuaca. Serta merta Umar bin Abdul Aziz pun mengambil kipas, lalu membolak-balikkannya mengipasi si pembantu. Dan sang pembantu itu pun akhirnya terbangun juga, begitu membuka mata ia mendapati sang majikan tengah mengipasinya tanpa rasa sungkan dan canggung. Maka dengan gerak reflek yang dimilikinya ia menaruh tangan di kepala seraya berseru karena malu. Lalu Umar bin Abdul Aziz pun berkata menenangkannya: “Engkau ini manusia sepertiku! Engkau merasakan panas sebagaimana aku juga merasakannya. Aku hanya ingin membuatmu nyaman -dengan kipas ini- sebagaimana engkau membuatku nyaman”.

e.    Adil.

Di antara sekian karakteristik yang dimiliki Umar bin Abdul Aziz, adil adalah sikap yang paling menonjol. Sikap itulah yang menjadikan nama beliau begitu familiar di telinga generasi setelahnya hingga hari ini. Keadilannya selalu digaungkan oleh para pencari keadilan, entah karena betul-betul ingin menapaktilasi jejaknya ataukah hanya sekedar kamuflase belaka. Yang terpenting adalah nama besarnya telah mendapat tempat di hati para penerus perjuangannya. Dan nama itu terukir indah dengan tinta emas di deretan para pemimpin yang adil, para pemimpin yang terbimbimg oleh kesucian wahyu; Al Qur’an dan Sunnah, para pemimpin yang dijuluki al-Khulafa’ ar-Rasyidun. Dan sejarah Islamlah pengukirnya.

Al-Ajurri menceritakan sikap adil yang dimilikinya, beliau berujar: “Seorang laki-laki Dzimmidari penduduk Himsh pernah mendatangi Umar bin Abdul Aziz seraya mengadu: “Hai Amirul Mukminin! Aku ingin diberi keputusan dengan hukum Allah”. “Apa yang engkau maksud?”, sergah Umar bin Abdul Aziz. “Abbas bin Walid bin Abdul Malik telah merampas tanahku”, lanjutnya -saat itu Abbas sedang duduk di samping Umar bin Abdul Aziz-. Maka Umar bin Abdul Aziz pun menanyakan hal itu kepada Abbas, “Apa komentarmu?”. “Aku terpaksa melakukan itu karena mendapat perintah langsung dari ayahku; Walid bin Abdul Malik”, sahut Abbas membela diri. Lalu Umar pun balik bertanya kepada si Dzimmi, “Apa komentarmu?”. “Wahai Amirul Mukminin! Aku ingin diberi keputusan dengan hukum Allah”, ulang si Dzimmi. Serta merta Umar bin Abdul Aziz pun berkata: “Hukum Allah lebih berhak untuk ditegakkan dari pada hukum Walid bin Abdul Malik”, seraya memerintahkan Abbas untuk mengembalikan tanah yang telah dirampasnya.

Kisah di atas hanyalah satu dari sekian puluh bahkan ratus sikap adil yang dimiliki Umar bin Abdul Aziz. Kisah tentang keadilannya begitu mudah di dapati di buku-buku sejarah yang menulis biografinya. Kisah yang memenuhi lembar demi lembar buku para sejarawan. Sungguh sebuah kisah, siapa pun pembacanya pasti akan menggeleng-gelengkan kepala tanda takjub sambil menyunggingkan rasa masygul tanpa ragu,  diiringi air mata bahagia yang turut mengharukan suasana.

http://agungridwan.wordpress.com/


Biografi Khalifah Umar bin Abdul Aziz, Khalifah Yang Agung

- Biodata Ringkas

Nama : Abu Jaafar Umar bin Abdul Aziz bin Marwan bin Hakam
Nama Ibu : Laila binti Asim bin Umar bin Al-Khatab
Tanggal Lahir : 61H
Umur : 39 tahun
Tarikh M/Dunia : 101H
Jawatan : Khalifah Ke 6 Bani Umaiyyah
Tarikh Lantikan : Safar 99H @ 717M
Lama Berkhidmat : 2 tahun 5 bulan

- Pendidikan

Beliau telah menghafaz al-Quran sejak masih kecil. Merantau ke Madinah untuk menimba ilmu pengetahuan. Beliau telah berguru dengan beberapa tokoh terkemuka spt Imam Malik b. Anas, Urwah b. Zubair, Abdullah b. Jaafar, Yusuf b. Abdullah dan sebagainya. Kemudian beliau melanjutkan pelajaran dengan beberapa tokoh terkenal di Mesir.
Beliau telah dipanggil balik ke Damsyik oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan apabila bapanya meninggal dunia dan dikahwinkan dengan puteri Khalifah, Fatimah binti Abdul Malik (sepupunya).

- Sifat-Sifat Pribadi

Beliau mempunyai keperibadian yang tinggi, disukai ramai dan warak yang diwarisi dari datuknya Saidina Umar bin Al-Khatab. Baginda amat berhati-hati dengan harta terutamanya yang melibatkan harta rakyat. Sesungguhnya kisah Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang menyediakan dua lilin di rumahnya, satu untuk kegunaan urusan negara dan satu lagi untuk kegunaan keluarga sendiri tentunya telah diketahui umum dan tidak perlu diulang-ulang.

Sebagai seorang yang zuhud, kehidupannya semasa menjadi Gabenor Madinah dan Khalifah adalah sama seperti kehdupannya semasa menjadi rakyat biasa. Harta yang ada termasuk barang perhiasan isterinya diserahkan kepada Baitulmal dan segala perbelanjaan negara berdasarkan konsep jimat-cermat dan berhati-hati atas alasan ia adalah harta rakyat. Ini terbukti apabila beliau dengan tegasnya menegur dan memecat pegawai yang boros dan segala bentuk jamuan negara tidak dibenarkan menggunakan harta kerajaan.

Pada suatu hari beliau berkhutbah yang mana antara isinya adalah seperti berikut ;
Setiap orang yang musafir mesti memperlengkapi bekalannya. Siapkanlah taqwa dalam perjalanan kamu dari dunia menuju akhirat. Pastikan dirimu sama ada mendapat pahala atau siksa, senang atau susah.

Jangan biarkan masa berlalu sehingga hatimu menjadi keras dan musuh sempat mengoda. Sebaik-baiknya saudara menganggap bahawa hidup pada petang hari tidak akan sampai ke pagi hari dan hidup pada pagi hari tidak akan sampai ke petang hari. Memang tidak jarang terjadi kematian ditengah-tengahnya

Saudara-saudara dapat menyaksikan sendiri bahawa ramai orang yang tertipu dengan dunia, padahal orang yang layak bergembira tidak lain kecuali orang yang selamat daripada siksaan Allah SWT dan orang yang lepas dari tragedi hari qiamat.

Sementara orang yang tidak mahu mengubati yang sudah luka, kemudian datang lagi penyakit lain, bagaimana mungkin mahu bergembira? Saya berlindung kepada Allah SWT daripada perbuatan yang tidak aku pegangi dan amalkan sendiri. Seandainya begitu, alangkah rugi dan tercelanya aku. Dan jelaslah tempatku nanti pada hari yang jelas kelihatan siapa yang kaya dan siapa yang miskin.

Di sana nanti akan diadakan timbangan amal serta manusia akan diserahi tanggungjawab yang berat. Seandainya tugas itu dipikul oleh binatang-binatang nescaya ia akan hancur, jika dipikul oleh gunung nescaya ia akan runtuh, kalau dipikul oleh bumi nescaya bumi akan retak. Saudara-saudara belum tahu bahawa tiada tempat di antara Syurga dan Neraka? Kamu akan memasuki salah satu daripadanya.
Ada seorang lelaki yang mengirim surat kepada rakannya yang isinya  Sesungguhnya dunia ini adalah tempat bermimpi dan akhirat barulah terjaga Jarak pemisah antara keduanya adalah mati. Jadi, kita sekarang sedang bermimpi yang panjang

Terdapat banyak riwayat dan athar para sahabat yang menceritakan tentang keluruhan budinya. Di antaranya ialah :
  1. At-Tirmizi meriwayatkan bahawa Umar Al-Khatab telah berkata : Dari anakku (zuriatku) akan lahir seorang lelaki yang menyerupainya dari segi keberaniannya dan akan memenuhkan dunia dengan keadilan
  2. Dari Zaid bin Aslam bahawa Anas bin Malik telah berkata : Aku tidak pernah menjadi makmum di belakang imam selepas wafatnya Rasulullah SAW yang mana solat imam tersebut menyamai solat Rasulullah SAW melainkan daripada Umar bin Abdul Aziz dan beliau pada masa itu adalah Gabenor Madinah
  3. Al-Walid bin Muslim menceritakan bahawa seorang lelaki dari Khurasan telah berkata : Aku telah beberapa kali mendengar suara datang dalam mimpiku yang berbunyi : Jika seorang yang berani dari Bani Marwan dilantik menjadi Khalifah, maka berilah baiah kepadanya kerana dia adalah pemimpin yang adil. Lalu aku menanti-nanti sehinggalah Umar b. Abdul Aziz menjadi Khalifah, akupun mendapatkannya dan memberi baiah kepadanya.
  4. Qais bin Jabir berkata : Perbandingan Umar bin Abdul Aziz di sisi Bani Ummaiyyah seperti orang yang beriman di kalangan keluarga Firaun
  5. Hassan al-Qishab telah berkata : Aku melihat serigala diternak bersama dengan sekumpulan kambing di zaman Khalifah Umar Ibnu Aziz
  6. Umar b Asid telah berkata :D emi Allah, Umar Ibnu Aziz tidak meninggal dunia sehingga datang seorang lelaki dengan harta yang bertimbun dan lelaki tersebut berkata kepada orang ramai : Ambillah hartaku ini sebanyak mana yang kamu mahu. Tetapi tiada yang mahu menerimanya (kerana semua sudah kaya) dan sesungguhnya Umar telah menjadikan rakyatnya kaya-raya
  7. Atha telah berkata : Umar Abdul Aziz mengumpulkan para fuqaha setiap malam. Mereka saling ingat memperingati di antara satu sama lain tentang mati dan hari qiamat, kemudian mereka sama-sama menangis kerana takut kepada azab Allah seolah-olah ada jenayah di antara mereka.

- Umar Ibnu Aziz Sebagai Khalifah

Beliau dilantik menjadi Khalifah stelah kematian sepupunya, Khalifah Sulaiman atas wasiat khalifah tersebut. Setelah mengambilalih tampuk pemerintahan, beliau telah mengubah beberapa perkara yang lebih mirip kepada sistem fuedal. Di antara perubahan awal yang dilakukannya ialah :
  1. menghapuskan cacian terhadap Saidina Ali bin Abu Thalib dan keluarganya yang disebut dalam khutbah-khutbah Jumaat dan digantikan dengan beberapa potongan ayat suci al-Quran
  2. merampas kembali harta-harta yang disalahgunakan oleh keluarga Khalifah dan mengembalikannya ke Baitulmal
  3. memecat pegawai-pegawai yang tidak cekap, menyalahgunakan kuasa dan pegawai yang tidak layak yang dilantik atas pengaruh keluarga Khalifah
  4. menghapuskan pegawai peribadi bagi Khalifah sebagaimana yang diamalkan oleh Khalifah terdahulu. Ini membolehkan beliau bebas bergaul dengan rakyat jelata tanpa sekatan tidak seperti khalifah dahulu yang mempunyai pengawal peribadi dan askar-askar yang mengawal istana yang menyebabkan rakyat sukar berjumpa.
Selain daripada itu, beliau amat mengambil berat tentang kebajikan rakyat miskin di mana beliau juga telah menaikkan gaji buruh sehingga ada yang menyamai gaji pegawai kerajaan.

Beliau juga amat menitikberatkan penghayatan agama di kalangan rakyatnya yang telah lalai dengan kemewahan dunia. Khalifah umar telah memerintahkan umatnya mendirikan solat secara berjammah dan masjid-masjid dijadikan tempat untuk mempelajari hukum Allah sebegaimana yang berlaku di zaman Rasulullah SAW dan para Khulafa Ar-Rasyidin. Baginda turut mengarahkan Muhammad b Abu Bakar Al-Hazni di Mekah agar mengumpul dan menyusun hadith-hadith Raulullah SAW.

Dalam bidang ilmu pula, beliau telah mengarahkan cendikawan Islam supaya menterjemahkan buku-buku kedoktoran dan pelbagai bidang ilmu dari bahasa Greek, Latin dan Siryani ke dalam bahasa Arab supaya senang dipelajari oleh umat Islam.

Dalam mengukuhkan lagi dakwah Islamiyah, beliau telah menghantar 10 orang pakar hukum Islam ke Afrika Utara serta menghantar beberapa orang pendakwah kepada raja-raja India, Turki dan Barbar di Afrika Utara untuk mengajak mereka kepada Islam. Di samping itu juga beliau telah menghapuskan bayaran Jizyah yang dikenakan ke atas orang yang bukan Islam dengan harapan ramai yang akan memeluk Islam.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang terkenal dengan keadilannya telah menjadikan keadilan sebagai keutamaan pemerintahannya. Beliau mahu semua rakyat dilayan sama adil tidak mengira keturunan dan pangkat supaya keadilan dapat berjalan dengan sempurna. Keadilan yang beliau perjuangan adalah menyamai keadilan di zaman datuknya, Khalifah Umar Al-Khatab ! yang sememangnya dinanti-nantikan oleh rakyat yang selalu ditindas oleh pembesar yang angkuh dan zalim sebelumnya.

Beliau akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir setelah memerintah selama 2 tahun 5 bulan dan 2 tahun 5 bulan satu tempoh yang terlalu pendek bagi sebuah pemerintahan.

Tetapi Khalifah Umar bin Abdul Aziz telah membuktikan sebaliknya. Dalam tempoh tersebut, kerajaan Umaiyyah semakin kuat, tiada pemberontakan dalaman, kurang berlaku penyelewengan, rakyat mendapat layanan yang sewajarnya dan menjadi kaya-raya hinggakan Baitulmal penuh dengan harta zakat kerana tiada lagi orang yang mahu menerima zakat, kebanyakannya sudah kaya ataupun sekurang-kurangnya boleh berdikari sendiri.

Semua ini adalah jasa Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang sangat masyhur, adil dan warak yang wajar menjadi contoh kepada pemerintahan zaman moden ini. Hanya 852 hari dapat mengubah sistem pemerintahan ke arah pemerintahan yang diredahi Allah dan menjadi contoh sepanjang zaman. Satu rekod yang sukar diikuti oleh orang lain melainkan orang yang benar-benar ikhlas.



Mempunyai mimpi, siapa yang tidak berharap padanya?
Berusaha sedemikian rupa agar mampu menciptakan banyak hal yang bergelimpangan dalam imajinasi.
Namun bagaimana apabila sesuatu yang kita sebut dengan potensi dan kekuatan ternyata malah melemahkan dan mengobok-obok pun mempermalukan sendiri di muka khalayak?

Rinai-rinai itu membuatku harus banyak menguras banyak air mata.
Membuat aku menjadi sesak akan pertanyaan yang entah harus kepada siapa aku tanyakan.
Entah siapa yang mampu menjawab.

Ya Rabb, hamba yakin dengan apa yang Engkau telah gariskan.
Beri hamba kekuatan sesuai dengan ujian yang Engkau amanahkan kepada hamba.
Amin...


aku menelan malam yang tertutup rona kelam
memutar dalih tentang terbang atau jalan yang tertatih

hanya bisu yang membuat ketenangan
dan kecamuk ini biar hati yang bercokol

aku cukup di sini dulu
mengantarkan masa depan ke persiapan kasih
merenggut pesona Illahi yang tak terlukis
meraba kuasa yang belum tersentuh

semilir bisikan awan-awan bernyawa
menitik kelam
hilangkan, jadi abu dan kemudian putih

aku ingin kembali
berada di peraduan yang hakiki


20 September perkuliahanku dimulai.
Dengan kelas yang selalu berubah, aku harus banyak menyesuaikan diri.
Terutama cara belajarku.

Seminggu pun berlalu.
Meski ada kerinduan menyelusup ke dalam kalbu,
aku harus bertahan di sini.
Pantang bagiku untuk pulang sebelum menembus impian.

FKM.
Aku tengah berjalan dan bersiap untuk berlari.

Ya Rabb,,
berilah hamba kekuatan yang membuat hamba mampu menjalankan amanatmu.
Amin.





Berada di Balai Sidang UI mengingatkanku pada memoar 1,5 tahun yang lalu. Saat aku masih beseragam abu, membawa emblem SMA Al Muttaqin. Waktu itu aku menginjakkan kaki di tempat ini untuk mendapat penjelasan tentang UI. Suasananya masih sama seperti dulu. Kursinya berwarna biru, di sudut kanannya sang saka dan bendera UI disandingkan. Tak jauh dari sana, ada mimbar yang dulu pernah aku gunakan untuk berpose.

Kali ini lain ceritanya. Aku duduk di sini untuk mengikuti seminar tentang workshop anti korupsi. Bersama ‘rengrengan’ asrama lain kita datang tepat waktu. Seminar ini menghadirkan tiga pembicara kawakan. Dedie A. Rachim (Direktur Dikyanmas KPK), Imaduddin Abdullah (Ketua BEM UI 2010), dan Topo Santoso, S.H., M.H., Ph.D (Dosen FH UI).

Banyak yang didapat dari seminar ini. Salah satunya adalah tentang KPK-nya di negeri orang. Di Singapura, KPK-nya bernama CPID dengan beranggotakan 2000 orang. Prinsip yang dibangun di sana memuat tiga hal, yakni mengubah budaya birokrat, mengubah perilaku masyarakat dan birokrat, dan penegakkan hukum yang konsisten.

Brunei, salah satu negara terkaya di ASEAN juga memiliki KPK, namanya BMR. Prinsip yang dipegang teguh adalah membangun integritas yang tinggi. Begitupun dengan Malaysia. Dengan nama BPR, ternyata sebanyak 90% aturannya disadap dari Indonesia dan 10% menyempurnakan dari yang Indonesia miliki.

Begitupun dengan Korea dengan nama instansi ICAK. Ada hal yang menggellitik dari pernyataan orang Korea terhadap Indonesia mengenai korupsi. Indonesia dan Korea dulu banyak kesamaan. Hari kemerdekaannya berdekatan, Indonesia 17 Agustus 1945, Korea 19 Agustus 1945. Kedua, Indonesia dan Korea hingga tahun 1973 merupakan negara termiskin. Namun, setelah itu tidak ada lagi persamaan antara Korea dan Indonesia karena Korea berhasil memangkas mata inti dari permasalahan, korupsi.

Salah satu resepnya ternyata Korea studi banding ke Singapura. Kemudian, prinsipnya ditambah, menjaga harga diri sebagai bangsa yang beradab. Bahkan untuk membenahi tata kota dan mengangkat citra baik Korea, masyarakat Korea membersihkan sungai hingga 4 tahun. Dan kini bisa dinikmati hasilnya. Tidak ada lagi sungai kotor dan semuanya berada pada koridornya masing-masing.

Namun bagaimana dengan Indonesia? Setelah hampir 6 tahun KPK berdiri, korupsi masih gentayangan di banyak bidang. Meski satu persatu para dalang ditangkap, akan tetapi semuanya tidak akan selesai jika tidak preventivitas.

Menurut Topo, beberapa penyebab terjadi korupsi adalah penegakkan hukum yang lemah, administrasi birokrasi yang membuka peluang, gaji yang rendah, serta rendahnya moral dan etika. Kebanyakan, belum bisa memilah antara milik masyarakat dengan milik pribadi. Sehingga perlu dibangun nilai budaya secara tegas untuk memisahkan serta membedakan antara hak pribadi dan milik umum.

Korupsi memang membunuh bangsa. Efek yang terjadi akibat adanya korupsi menimbulkan ketidakpastian hukum, disinsentif untuk berprestasi, penghambat terwujudnya struktur demokrasi yang sehat, penghalang investasi dan penyebab high cost economy, dan penghambat pembangunan.

Perguruan tinggi yang disinggahi oleh para mahasiswa yang memiliki idealism tinggi berperan untuk mencetak cendekiawan, sebagai instrument untuk pemberdayaan dan transformasi social, membumikan gagasan intelektualitasnya, dan sebagai tempat sosialisasi kedua untuk tumbuhnya kesadaran moral, di mana pendidikan sebagai bagian dari pembudayaan.

Mahasiswa, sebagai agent of change berperan dalam intelektual organik, di mana memberikan perubahan pada masyarakat tingkat bawah untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Oleh karena itu, perlu pencerdasan teknis untuk membangun kesadaran kritis sehingga bisa berpartisipasi secara aktif dalam pengawasan dan hasilnya tercipta struktur masyarakat yang cerdas, kritis, partisipatif, dan solutif.

***

Aku sepertinya tidak asing dengan pria berbaju batik yang bersama Pak Dedie. Kuamati lebih telik. Ternyata Mas Yudi yang dulu menjadi pembicara di AMQ saat workshop anti korupsi.tadinya aku ingin menyapa, namun saat ku beringsut dari tempat duduk, Mas Yudi sudah berpindah entah ke mana.




Hari yang indah dan menyenangkan. Menyelami secuil napas kota Batavia bersama ternyata memberikan sensasi berbeda dan menghasilkan paduan persahabatan yang semakin erat. Bersama 20an FKMers dan beberapa orang ‘penyusup’, aku berangkat menuju Kota Tua. 


Sebenarnya, rencana ini sudah dikomunikasikan sedari lama. Namun, demi kebersamaan, akhirnya kita saling tunggu sekalian menunggu waktu yang selaras agar nuansa pertemanan kita semakin kentara. Sekitar Sabtu, aku dapat sms dari Rakhmat yang mengajak ke Kota Tua bersama FKM lainnya.
Seninnya, jalan-jalan ke Kota Tua diputuskan dengan hasil kita berangkat menggunakan KRL Ekonomi AC dengan harga Rp 5.500,00 pada pukul 8.49. Namun kenyataan berkehendak lain. Menunggu memang sebuah hal yang enggan dilakoni. Tapi itulah yang terjadi. Memang ada beberapa orang yang datang tidak sesuai waktu yang dijadwalkan.
Sekira pukul 09.00, kami pun hengkang dari BPM (Bawah Pohon Mangga)nya FKM. Tak lupa mengabadikan kebersamaan kita terlebih dahulu di depan gedung tempat kita menemukan arah menuju cita-cita masa depan nanti, FKM tercinta.
Sambil menunggu kedatangan seorang teman lagi, Fauzi, kami berjalan menuju stasiun di Pocin. Untungnya kereta akan ada lagi beberapa menit kemudian. Namun, 9.30 Fauzi belum juga datang. Padahal kereta tiba lima menit lagi menurut jadwal. Dari kejauhan samar-samar terlihat seseorang berjalan memakai kemeja kotak-kotak merah. Dia semakin menghampiri. Akhirnya, Fauzi hadir juga. Sayang ia tidak ikut berfoto ria bersama dengan sang fotografer Joko alias Noviaji Joko Priono.
Kereta datang tepat waktu ternyata. Meski tak terlalu penuh, namun sebagian dari kami berdiri. Kebanyakan para pria yang tangguh (cieeilleeehh…). Ada Aji, Rakhmat, Joko, plus beberapa wonder women. Ada Tari, Zulfa, Amel. Jauh sebelah sana ada juga beberapa yang berdiri. Namun aku tak memperhatikan terlalu jelas karena jaraknya memang cukup jauh.
Beruntung aku dapat tempat duduk. Begitu juga dengan beberapa yang lain. Namun, tempatku tak strategis. Aku hanya berdiam diri karena bingung mau ngobrol dengan siapa(?). Keasyikan teman-teman yang berdiri membuatku tergoda untuk merasakan bagaimana nikmatnya berdiri di kereta. Kuputuskan untuk berdiri dan berbaur dengan yang lain.
Kelamaan, aku merasakanpegal di pinggang. Mungkin ini efek dari tarik tambang kemarin. Karena semakin banyak yang kosong, aku putuskan untuk duduk kembali. Begitu pula dengan yang lain. Tinggal Aji dan Zulfa yang tersisa.
***
Tiba juga di stasiun kota setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 40 menit. Namun kami masih harus menunggu beberapa orang lagi. Rombongan Icha dan Riska. Mengatasi kejenuhan, kami isi dengan saling bertukar nomor hp dan ngobrol ngaler ngidul.
Lebih dari jam 10. Berkumpul juga sang pengembara yang akan menaklukan Batavia seharian ini. Melewati terowongan  bawah tanah, kami menuju Kota Tua. Kami sempat berdiam di depan Museum BI. Tadinya mau langsung masuk, namun karena terjebak oleh sebuah spanduk yang bertuliskan seminar di tanggal ini, kami meneruskan perjalanan menuju museum Fatahillah. Sepeda-sepeda ontel berwarna-warni dengan topi bundar menyambut kami di halaman bangunan yang luas itu.
Kami habiskan sekira 15 menit untuk mengabadikan momen dengan pelbagai gaya. Setelahnya, langsung menuju ke dalam. Sempat ‘macet’ juga di pembelian karcis. Soalnya bimbang, antara pakai KTM dengan bayar Rp 750,00 atau langsung bayar Rp 1.000,00. Tak lama berselang, diputuskanlah kita membayar Rp 1.000,00.
Menuju ke dalam, turis berselimpangan. Ada niatan juga untuk ngobrol sepatah duapatah kata. Namun urung dilakukan. “Del, banyak temen-temen kamu tuh...” kata Rakhmat. Mimikku yang bertanya ‘siapa?’ dan ‘mana?’ langsung dijawab dengan tunjukkan tangan. “Tuh…” seraya menunjuk ke arah turis. “Tak pede, ah. Kamu aja. Ntar aku nimbrung. Hehehe…” “Kan kamu yang lebih punya pengalaman.”
***
Sesi foto dilanjutkan kembali. Kali ini lebih menggila. Hampir tiap tempat kami berfoto dengan beberapa jepretan. Entah siapa yang memfoto, entah pakai hp/camdig siapa untuk difoto. Yang pasti, narsis teruuus. =D
Ada tempat yang cukup unik, yakni (sepertinya) bekas penjara. Dilihat dari jeruji, pintu, desain, hingga tempat pemasungan mengacu bahwa itu adalah bekas penjara dulunya.
Perjalanan dilanjutkan lagi ke bagian atas. Banyak benda-benda peninggalan, seperti guci, perhiasan, dan beberapa barang lain plus dengan deskripsinya.
***
Matahari semakin memanggang kami. Teriknya membuat kami berpeluh dan butuh penyegaran. Untungnya, sepoi angin cukup membantu. Namun perut kami ternyata tidak bisa berkompromi. Karena waktu sudah menunjukkan jam shalat dan sayup-sayup adzan mulai berkumandang, kami mencari mushola. Sayangnya, musola yang ada di sekitar sana airnya tidak mengalir akibat aliran listrik mati. Berdasarkan info, tak jauh ada mesjid. Kami pun menuju ke sana sembari beristirahat sejenak.
Makan-makan menjadi tujuan berikutnya. Tadinya mau ke Monas. Tetapi ternyata ada juga Warung Nasi Padang. Kelihatannya juga bersih. Aku, Tari, dan Yosita yang sudah berjalan terlebih dahulu terpaksa kembali sekira 70 meter setelah menoleh, mendengar panggilan dari kawanan yang sudah berdiri di depan rumah makan itu.
Kami harus berjalan melewati tangga menuju tempat yang lebih luas dan memuat masa kita yang berjumlah sekira 27 orang. Meski harus berdesakan juga karena memang tempatnya sempit. Pemesananpun dimulai. Sebagian besar memilih nasi ayam bakar, selebihnya memilih nasi rendang, dan nasi cincang. Untuk minumnya mayoritas memilih es teh dan yang lain bervariasi.
Karena waktu yang sudah mencapai pukul 13.25, sedang kami harus segera kembali ke stasiun pada pukul 14.50, maka diputuskanlah untuk mencoba masuk ke Museum BI. Yang malu bertanya sesat di jalan, kan?
Berjalan beberapa ratus meter tak terasa dengan bercengkrama. Dalam hitungan menit kami sudah tiba lagi di Museum BI. Setelah bertanya kepada satpam yang ada di sana, kami dipersilakan untuk masuk. Ternyata seminar tidak mempengaruhi aktivitas museum.
Kami disambut oleh Pak Gede. Beliau meminta maaf apabila fasilitas yang disediakan kurang nyaman karena listrik sedang mati di daerah sana. Lampu dan beberapa AC serta pelengkap sederhana lainnya menggunakan genset.
Sebelum masuk ke ruang inti, kami disuguhi oleh sebuah plakat yang ditandatangani oleh Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono. Dan tanggal yang tertera adalah 21 Juli 2009. Itu artinya kami datang tepat satu tahun museum ini diresmikan setelah pemugaran dan perbaikan sana-sini. Salah satu teman kami yang berulangtahun di tanggal yang sama, Riska, mendapatkan souvenir dari Museum BI. Menurut Pak Gede, Museum BI memang sering memberikan souvenir cuma-cuma bagi pengunjung yang memiliki angka cantik, baik hari ulang tahun maupun tiket masuk.
Alur perjalanan kami diawali di bagian uang dimensi, di mana saat ada koin yang ditampilkan di layar kami tangkap lewat bayangan yang kami pantulkan sendiri, secara otomatis di sebela koin tersebut tertera penjelasan tentang apa, kapan, dan di mana koin tersebut digunakan.
Setelah cukup puas, kami disuguhi oleh sebuah ruang teater yang menampilkan tentang sejarah BI dan tetekbengek lain yang berkaitan. Cukup lama juga di sana. Kemudian, kami menuju ruangan yang memuat cerita panjang perjalanan system keuangan di Indonesia. Mulai dari zaman Hindia Belanda, Jepang, hingga alat tukar yang dulu pernah digunakan. Bahkan ada pula sketsa dari bangunan Museum BI itu sendiri dengan beberapa coretan pensil di sana-sini yang menambah kesan klasik.
Kami puas-puaskan untuk berfoto ria sepanjang perjalanan. Ada yang sendiri-sendiri, bareng-bareng, meski tak tahu itu menggunakan kamera punya siapa. Yang penting eksis, prinsip kami saat itu.
Tak terasa, waktu sudah mendekati pukul 14.30. Sebentar lagi kereta menuju Ekonomi AC yang akan kita gunakan untuk mengantarkan kembali ke habitat asal masing-masing. Beberapa ada yang menggunakan busway.
Berbeda dengan keberangkatan tadi, pulangnya kereta lebih jejal oleh penumpang. Beberapa dari kami yang awalnya duduk dengan ikhlas memberikan tempat duduknya bagi orang yang lebih membutuhkan. Lansia dan ibu hamil. Namun, kami tetap nikmati. Berdiri puluhan menit tidak terasa karena bibir yang tak henti menguntai cerita.
Asrama community turun terlebih dahulu di stasiun UI. Sedangkan Rakhmat dan Aji turun di Pocin, biar dekat FKM. Mereka harus membawa motor yang diparkir di parkiran FKM. Yang turun di stasiun UI segera naik bikun yang kebetulan lewat dan masih sangat kosong. Meski harus memutar dulu ke Balairung, FKM, FT, dan di beberapa titik pemberhentian. Saat melewati FKM, terlihat Rakhmat dan Aji sedang berjalan menuju FKM. Sayang mereka tak mendengar sahutan kami.
Bikun terus berjalan. Entah di pemberhentian ke berapa, Sefi dan Irfan Saleh, dua temanku di Ciamis dulu naik bikun juga. Mereka sedang tinggal di UI beberapa waktu untuk mengikuti seleksi SSB.
Sekira sepuluh menit kemudian, tiba juga di asrama. Aku bergegas menuju kamar dan ganti kostum. Pasalnya, aku harus mengikuti lomba tarik tambang mewakili gedung A. Aku hanya telat beberapa menit dan akhirnya hanya bisa menyoraki, memberi semangat, dan menyaksikan kemenangan grup Alfa dalam tarik tambang melawan kelompok lain. Esok harus lebih konsisten waktu lagi! Itu tekadku.




Entah apa yang meracuni pikiranku hari ini. Pesona sinar yang menutup malam tadi kuawali dengan kerancuan dalam koneksi sel di otak. Aku masih terbenam dalam alam teta saat seseorang meneleponku di sepertiga malam. Meski hingar bingar suaranya sempat menyedotku dari alam bawah sadar, ternyata dunia mimpi lebih aku pilih dibanding bercengkrama dengan pengisi hatiku.

Mentari pun semakin memperlihatkan kekokohannya sebagai pemberkas cahaya. Sedangkan mataku baru mau membuka kelopaknya saat waktu mendekati angka delapan untuk jarum pendeknya dan angka sembilan ditunjuk oleh jarum panjangnya. Aku terkesiap. Kaget tak tertahankan. Tak seperti biasanya aku bangun sesiang ini. -_-“

Begitu nyawaku terkumpul, mataku langsung terpaku pada segunung baju yang pernah aku pakai beberapa hari kemarin. Bersamaan itu pula hp-ku bergetar. Ada tujuh belas missed calls dan 4 new messages! Innalillahi, entah ke mana nyawa ini mengembara.

Yang paling pertama aku buka adalah missed calls. 13 Candidate of…, 2 Ambu Delia, 2 dari dua nomor yang asing dan berbeda. Setelah itu, tanpa tunggu lama lagi tangan ini mengotak-atik keyboard hp untuk membuka sms yang masuk. Dua dari Candidate of…, satu dari Ambu Delia, satu dari UI FT Antin. Saat kubaca yang dari Antin, aku semakin tak bernyawa saja sepertinya. Aku baru ingat kalau kita janjian untuk ke Rektorat, mendaftar hotspot. “Kata Ida kita berangkat jam 10 iia.” Itu isi smsnya. Masih tersisa dua jam lagi. Aku harus segera.

Aku beranjak dari kasur bersarung warna cokelat ini dan menjinjing ember cucian menuju WC. Hampir satu jam aku habiskan untuk mencuci dan mandi serta tetek-bengek lainnya.

Setelah memakai baju yang kiranya pantas dipakai siang ini, aku masukkan laptop ke tas. Plus charger pastinya. Kurasa sudah lengkap dan kini saatnya sarapan. Bersamaan dengan keluarnya aku dari kamar, Antin lewat dan berniat untuk menjemputku. Akhirnya kita turun dan menuju kantin bersama.

***
Berangkatlah kami bertiga menggunakan bikun menuju rektorat. Hampir bablas! Soalnya pakai bikun warna merah. Jadi turunnya lebih awal. Saat lewat atm, ingatanku langsung terhubung dengan dompet. “Innalillahi..!” aku histeris, kaget. Ternyata dompetku ketinggalan. Aku masih ingat, dompet itu masih di laci bekas tadi malam makan.

Dengan langkah gontai akhirnya kita sampai juga di rektorat. Masuk ke sebuah ruangan ber-AC dan bertemu dengan Amy, anak Sastra Korea. Tak banyak basa-basi, kukatakan pada petugas yang di sana bahwa aku ingin mendaftarkan laptopku untuk berselancar di UI secara bebas.

Sempat kulupakan elegi lupa dompet itu saat wallpaper yang aku pakai itu adalah foto bersama Rektor UI, Prof. Dr. der Soz. Gumilar Rusliwa Somantri, pada tahun 2009 silam. Bapak-bapak yang bertugas di sana berdecak kagum. Aku jadi tersipu dan mendapat segenggam keberanian berdiri di sini. Apalagi bapaknya bilang ke teman-temannya bahwa Pak Rektor adalah om aku. =D
***
Setelah berunding beberapa menit, aku, Antin, Ida, dan Amy memutuskan untuk menuju perpustakaan umum. Pasalnya, di sana kita bisa mencoba hotspot juga. Plus ‘colokan’nya pula.

Namun, jarak ke perpustakaan cukup jauh. Rencananya kita akan menggunakan sepeda. Sayangnya, kita harus menyetor KTM untuk menggunakan sepeda. Sedang masalahku di awal tadi, tidak membawa dompet. Padahal semua barang-barang pentingku ada di sana, termasuk KTM.

Akhirnya, mencoba-coba menggunakan kartu SIAK-NG, ternyata aku bisa juga bersepeda ria.

Setibanya di perpustakaan, aku bersama Antin dan Amy langsung menghidupkan laptop untuk mencoba tapak barusan. Sedang Ida masih ada problem di laptopnya. Jadi belum  bisa digunakan. Satu menit, lima menit, hingga menjelang dzuhur ternyata sinyalnya belum juga menyala. Aku yang tidak terlalu membutuhkan dunia maya saat itu menggunakan waktu untuk menambah beberapa elemen di calon cerpen. Sedang Antin beralih membaca buku danAmy mendengarkan musik. Tak lama, laptop Amy bisa connect juga.

Aku, Ida, dan Antin pergi terlebih dahulu karena adzan sudah memanggil. Sedang Amy yang katanya sedang downloading masih stay di tempat duduknya.

Tujuan awal kita itu ke MUI. Akan tetapi, di dekat MUI tidak ada tempat menyimpanan sepeda. Akhirnya perjalanan diteruskan hingga ke seberang F-Psi. Dan shalat pun kami putuskan di mushola FH. Sekalian menikmati bagaimana hawanya tempat belajarnya para ahli hukum. Di dekat mushola, kami disuguhi oleh kursi-kursi yang terlihat pewe. Saat duduk… Krekeeettt… Besi tua yang berkarat dan sudah tidak kokoh itu menyuarakan linunya. Meski agak degdegan juga, takut lebih parah rusaknya, tapi kita diam sejenak untuk menepis peluh setelah menantang matahari mengayuh sepeda dan berjalan menuju FH.

Setelah shalat, kita langsung ke halte bikun, menunggu yang menjemput untuk kembali ke singgasana. n_n




KAMI SIAP MENGABDI!

Bersua di alam maya belum membuat kita puas.
Bersatunya anak bangsa yang (akan segera) merantau ke ibukota.
Dari Sabang sampai Merauke.
Dari Rote hingga ke Talaud.

Akhirnya aku tiba juga di kampus perjuangan.
Setelah menunggu dari Januari, akhirnya tiba pula di pertengahan Juni, di 16 tepatnya.
Namun kala itu waktu belum mempertemukan kita.
Tiga hari berikutnya, Tuhan izinkan kerinduan ini sirna.
Menjabat sebagai mahasiswa baru Universitas Indonesia,
kami bersua di pinggir danau dekat rektorat.
Inilah saksi pertemuan besar kami yang pertama.



Akhirnya, tiba juga hari ini. Saat yang membuatku paranoid selama jangka waktu yang cukup lama.

Kini, usiaku 17 tahun. Jujur, aku masih merasa menjadi anak kecil. Namun bagaimana pun aku harus banyak berubah, menjadi pribadi berakhlakul karimah, visioner, tangguh, dan siap menghadapi dan menaklukan tantangan masa depan.

Tujuh belas tahun. Orang-orang bilang sweet seventeen. Masa yang indah. Saat di mana kita sudah semakin bebas, semakin dewasa, bisa miliki segalanya. Tapi bagiku tidak! Usia 17 tahun berarti pembuktian pengabdian. Mewujudkan mimpi-mimpi dan membentuk generasi baru yang lebih unggul.

Bagiku, 17 tahun berarti taraf pendidikanku harus sudah semakin meningkat. Tanggung jawab pun semakin banyak. Bukan hanya masalah diri sendiri, akan tetapi melindungi adik dan generasi penerus, memperjuangkan kebenaran Islam di muka dunia, berbakti kepada kedua orang tua dan keluarga, serta pengabdian untuk negeri.

Sungguh aku berterima kasih kepada Allah yang sebesar-besarnya. Bukan gombal, tapi ini nyata. Aku merasakan ada jiwa baru yang menyelusup ke sanubari. Ruh pribadi yang matang dengan pemikiran yang dewasa. Semoga firasatku benar.

Ada penyesalan atas kekhilafanku menolak usia 17 tahun ini. Penolakkan yang membuatku frustasi dan malah menghancurkan beberapa pilar mimpiku. Hampir saja aku hancurkan semuanya!

Harusnya aku bersyukur. Aku baru menyadari, begitu banyak orang yang masih mengingatku, menyayangiku, tahu dan menyadari keberadaanku. Di wall fb, lebih dari 80 wall yang mengucapakn b’day kepadaku. Begitu pula yang di message.

Tak hanya itu, aku masih memiliki kedua orang tua yang begitu menyayangi dan melindungiku. Bahkan, di sela kesibukan mereka, mereka mengizinkan dan menyiapkan makanan untuk acara munggahan kelas XII IPA B sekaligus perayaan ultahku.

Di usia ini pun, Allah begitu murah hati dan mengizinkan salah seorang kekasih-Mu menjadi bagian hidupku. Aku berharap, ia bisa mendampingiku hingga akhir hayat nanti. Amin.

Sedih juga. Di hari istimewa ini ia tidak ada bersamaku. Bukan tidak ingin, tapi ada yang lebih penting dan prioritas dari ini. Kasihan juga.

Aku ingin menjadi penguatnya di saat ia pincang. Menjadi bagian dari sejarah kisah bahagianya. Ya Allah, benarkah aku mencintainya? Namun, pantaskah aku untuk berlaku seperti ini? Aku masih ingin menjadi hamba-Mu, Ya Allah. Hamba-Mu yang taat beribadah, cerdas, dan memiliki hubungan sosial yang baik. Amin.

Hari sebelumnya, tanggal 19, sebelum XII IPA B berangkat, ia pamit. Sedih banget. Tadinya mau agak sore. Tapi Soge, Fitri, Memet, n Ibad ‘ngajujurung’ terus. Akhirnya aku hampiri mereka yang sedang di Bi Oot. Sempat ngobrol beberapa saat. Lalu kita sepakat buat ngobrol di ruang OSIS.

Di sana, aku hampir saja menangis. Tapi setidaknya aku bisa menatap matanya, dari dekat, dengan adanya senyum dan elusan hangat darinya membuatku agak membaik. Aku rindukan elusannya. Sangat. Kemarin, sepanjang di ruang OSIS ia terus mengelus kepalaku. Allah, mengapa harus ada rindu??

Hanya sebentar di ruang OSIS. Kita berjalan berdua, melewati dunia yang ternyata membuat Fay panas hati dan menutup pintu plus menggambar tak jelas. Ia jealous sepertinya. sekaligus kasihin kado ultah untukku. Boneka ternyata. Aku baru buka bungkusnya di rumah.


Mendengar katamu, luluhkan hati

Melihat matamu, rasakan kehangatan

Bayangkan senyummu, ronakan pipiku

Kau adalah titisan yang Tuhan berikan agar aku lebih hidup

Kau adalah anugerah

Kilau cahaya dalam gelap

Yang menambah catatan perjalananku penuh pelajaran

Namun, kata-katamu kerapkali membuatku bingung

Menimbulkan keraguan dan kecemasan karena takut kehilanganmu

Kau yang membuatku cemburu

Karena begitu banyak orang yang mengagumi dan menyayangi

Meski seringkali kau tak menyadarinya

Kau yang membuatku berubah

Mengantarkan diriku berevolusi

Menjadi seorang yang kau mimpikan

Kau adalah penjahat

Yang tak jarang buatku menangis

Kau telah masuk ke ranah jiwaku

Yang dengan diammu selalu membuatku gelisah

Tapi kau adalah pengobatku

Membuang segala hal buruk yang menimpaku

Kau adalah kelembutan yang tiada tara

Yang dengan belaianmu membuatku nyaman

Aku mengagumi dan meneladanimu

Karena kau adalah guru bagiku

9.36 am

September 29th, 2009