twitter





Berada di Balai Sidang UI mengingatkanku pada memoar 1,5 tahun yang lalu. Saat aku masih beseragam abu, membawa emblem SMA Al Muttaqin. Waktu itu aku menginjakkan kaki di tempat ini untuk mendapat penjelasan tentang UI. Suasananya masih sama seperti dulu. Kursinya berwarna biru, di sudut kanannya sang saka dan bendera UI disandingkan. Tak jauh dari sana, ada mimbar yang dulu pernah aku gunakan untuk berpose.

Kali ini lain ceritanya. Aku duduk di sini untuk mengikuti seminar tentang workshop anti korupsi. Bersama ‘rengrengan’ asrama lain kita datang tepat waktu. Seminar ini menghadirkan tiga pembicara kawakan. Dedie A. Rachim (Direktur Dikyanmas KPK), Imaduddin Abdullah (Ketua BEM UI 2010), dan Topo Santoso, S.H., M.H., Ph.D (Dosen FH UI).

Banyak yang didapat dari seminar ini. Salah satunya adalah tentang KPK-nya di negeri orang. Di Singapura, KPK-nya bernama CPID dengan beranggotakan 2000 orang. Prinsip yang dibangun di sana memuat tiga hal, yakni mengubah budaya birokrat, mengubah perilaku masyarakat dan birokrat, dan penegakkan hukum yang konsisten.

Brunei, salah satu negara terkaya di ASEAN juga memiliki KPK, namanya BMR. Prinsip yang dipegang teguh adalah membangun integritas yang tinggi. Begitupun dengan Malaysia. Dengan nama BPR, ternyata sebanyak 90% aturannya disadap dari Indonesia dan 10% menyempurnakan dari yang Indonesia miliki.

Begitupun dengan Korea dengan nama instansi ICAK. Ada hal yang menggellitik dari pernyataan orang Korea terhadap Indonesia mengenai korupsi. Indonesia dan Korea dulu banyak kesamaan. Hari kemerdekaannya berdekatan, Indonesia 17 Agustus 1945, Korea 19 Agustus 1945. Kedua, Indonesia dan Korea hingga tahun 1973 merupakan negara termiskin. Namun, setelah itu tidak ada lagi persamaan antara Korea dan Indonesia karena Korea berhasil memangkas mata inti dari permasalahan, korupsi.

Salah satu resepnya ternyata Korea studi banding ke Singapura. Kemudian, prinsipnya ditambah, menjaga harga diri sebagai bangsa yang beradab. Bahkan untuk membenahi tata kota dan mengangkat citra baik Korea, masyarakat Korea membersihkan sungai hingga 4 tahun. Dan kini bisa dinikmati hasilnya. Tidak ada lagi sungai kotor dan semuanya berada pada koridornya masing-masing.

Namun bagaimana dengan Indonesia? Setelah hampir 6 tahun KPK berdiri, korupsi masih gentayangan di banyak bidang. Meski satu persatu para dalang ditangkap, akan tetapi semuanya tidak akan selesai jika tidak preventivitas.

Menurut Topo, beberapa penyebab terjadi korupsi adalah penegakkan hukum yang lemah, administrasi birokrasi yang membuka peluang, gaji yang rendah, serta rendahnya moral dan etika. Kebanyakan, belum bisa memilah antara milik masyarakat dengan milik pribadi. Sehingga perlu dibangun nilai budaya secara tegas untuk memisahkan serta membedakan antara hak pribadi dan milik umum.

Korupsi memang membunuh bangsa. Efek yang terjadi akibat adanya korupsi menimbulkan ketidakpastian hukum, disinsentif untuk berprestasi, penghambat terwujudnya struktur demokrasi yang sehat, penghalang investasi dan penyebab high cost economy, dan penghambat pembangunan.

Perguruan tinggi yang disinggahi oleh para mahasiswa yang memiliki idealism tinggi berperan untuk mencetak cendekiawan, sebagai instrument untuk pemberdayaan dan transformasi social, membumikan gagasan intelektualitasnya, dan sebagai tempat sosialisasi kedua untuk tumbuhnya kesadaran moral, di mana pendidikan sebagai bagian dari pembudayaan.

Mahasiswa, sebagai agent of change berperan dalam intelektual organik, di mana memberikan perubahan pada masyarakat tingkat bawah untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Oleh karena itu, perlu pencerdasan teknis untuk membangun kesadaran kritis sehingga bisa berpartisipasi secara aktif dalam pengawasan dan hasilnya tercipta struktur masyarakat yang cerdas, kritis, partisipatif, dan solutif.

***

Aku sepertinya tidak asing dengan pria berbaju batik yang bersama Pak Dedie. Kuamati lebih telik. Ternyata Mas Yudi yang dulu menjadi pembicara di AMQ saat workshop anti korupsi.tadinya aku ingin menyapa, namun saat ku beringsut dari tempat duduk, Mas Yudi sudah berpindah entah ke mana.




Hari yang indah dan menyenangkan. Menyelami secuil napas kota Batavia bersama ternyata memberikan sensasi berbeda dan menghasilkan paduan persahabatan yang semakin erat. Bersama 20an FKMers dan beberapa orang ‘penyusup’, aku berangkat menuju Kota Tua. 


Sebenarnya, rencana ini sudah dikomunikasikan sedari lama. Namun, demi kebersamaan, akhirnya kita saling tunggu sekalian menunggu waktu yang selaras agar nuansa pertemanan kita semakin kentara. Sekitar Sabtu, aku dapat sms dari Rakhmat yang mengajak ke Kota Tua bersama FKM lainnya.
Seninnya, jalan-jalan ke Kota Tua diputuskan dengan hasil kita berangkat menggunakan KRL Ekonomi AC dengan harga Rp 5.500,00 pada pukul 8.49. Namun kenyataan berkehendak lain. Menunggu memang sebuah hal yang enggan dilakoni. Tapi itulah yang terjadi. Memang ada beberapa orang yang datang tidak sesuai waktu yang dijadwalkan.
Sekira pukul 09.00, kami pun hengkang dari BPM (Bawah Pohon Mangga)nya FKM. Tak lupa mengabadikan kebersamaan kita terlebih dahulu di depan gedung tempat kita menemukan arah menuju cita-cita masa depan nanti, FKM tercinta.
Sambil menunggu kedatangan seorang teman lagi, Fauzi, kami berjalan menuju stasiun di Pocin. Untungnya kereta akan ada lagi beberapa menit kemudian. Namun, 9.30 Fauzi belum juga datang. Padahal kereta tiba lima menit lagi menurut jadwal. Dari kejauhan samar-samar terlihat seseorang berjalan memakai kemeja kotak-kotak merah. Dia semakin menghampiri. Akhirnya, Fauzi hadir juga. Sayang ia tidak ikut berfoto ria bersama dengan sang fotografer Joko alias Noviaji Joko Priono.
Kereta datang tepat waktu ternyata. Meski tak terlalu penuh, namun sebagian dari kami berdiri. Kebanyakan para pria yang tangguh (cieeilleeehh…). Ada Aji, Rakhmat, Joko, plus beberapa wonder women. Ada Tari, Zulfa, Amel. Jauh sebelah sana ada juga beberapa yang berdiri. Namun aku tak memperhatikan terlalu jelas karena jaraknya memang cukup jauh.
Beruntung aku dapat tempat duduk. Begitu juga dengan beberapa yang lain. Namun, tempatku tak strategis. Aku hanya berdiam diri karena bingung mau ngobrol dengan siapa(?). Keasyikan teman-teman yang berdiri membuatku tergoda untuk merasakan bagaimana nikmatnya berdiri di kereta. Kuputuskan untuk berdiri dan berbaur dengan yang lain.
Kelamaan, aku merasakanpegal di pinggang. Mungkin ini efek dari tarik tambang kemarin. Karena semakin banyak yang kosong, aku putuskan untuk duduk kembali. Begitu pula dengan yang lain. Tinggal Aji dan Zulfa yang tersisa.
***
Tiba juga di stasiun kota setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 40 menit. Namun kami masih harus menunggu beberapa orang lagi. Rombongan Icha dan Riska. Mengatasi kejenuhan, kami isi dengan saling bertukar nomor hp dan ngobrol ngaler ngidul.
Lebih dari jam 10. Berkumpul juga sang pengembara yang akan menaklukan Batavia seharian ini. Melewati terowongan  bawah tanah, kami menuju Kota Tua. Kami sempat berdiam di depan Museum BI. Tadinya mau langsung masuk, namun karena terjebak oleh sebuah spanduk yang bertuliskan seminar di tanggal ini, kami meneruskan perjalanan menuju museum Fatahillah. Sepeda-sepeda ontel berwarna-warni dengan topi bundar menyambut kami di halaman bangunan yang luas itu.
Kami habiskan sekira 15 menit untuk mengabadikan momen dengan pelbagai gaya. Setelahnya, langsung menuju ke dalam. Sempat ‘macet’ juga di pembelian karcis. Soalnya bimbang, antara pakai KTM dengan bayar Rp 750,00 atau langsung bayar Rp 1.000,00. Tak lama berselang, diputuskanlah kita membayar Rp 1.000,00.
Menuju ke dalam, turis berselimpangan. Ada niatan juga untuk ngobrol sepatah duapatah kata. Namun urung dilakukan. “Del, banyak temen-temen kamu tuh...” kata Rakhmat. Mimikku yang bertanya ‘siapa?’ dan ‘mana?’ langsung dijawab dengan tunjukkan tangan. “Tuh…” seraya menunjuk ke arah turis. “Tak pede, ah. Kamu aja. Ntar aku nimbrung. Hehehe…” “Kan kamu yang lebih punya pengalaman.”
***
Sesi foto dilanjutkan kembali. Kali ini lebih menggila. Hampir tiap tempat kami berfoto dengan beberapa jepretan. Entah siapa yang memfoto, entah pakai hp/camdig siapa untuk difoto. Yang pasti, narsis teruuus. =D
Ada tempat yang cukup unik, yakni (sepertinya) bekas penjara. Dilihat dari jeruji, pintu, desain, hingga tempat pemasungan mengacu bahwa itu adalah bekas penjara dulunya.
Perjalanan dilanjutkan lagi ke bagian atas. Banyak benda-benda peninggalan, seperti guci, perhiasan, dan beberapa barang lain plus dengan deskripsinya.
***
Matahari semakin memanggang kami. Teriknya membuat kami berpeluh dan butuh penyegaran. Untungnya, sepoi angin cukup membantu. Namun perut kami ternyata tidak bisa berkompromi. Karena waktu sudah menunjukkan jam shalat dan sayup-sayup adzan mulai berkumandang, kami mencari mushola. Sayangnya, musola yang ada di sekitar sana airnya tidak mengalir akibat aliran listrik mati. Berdasarkan info, tak jauh ada mesjid. Kami pun menuju ke sana sembari beristirahat sejenak.
Makan-makan menjadi tujuan berikutnya. Tadinya mau ke Monas. Tetapi ternyata ada juga Warung Nasi Padang. Kelihatannya juga bersih. Aku, Tari, dan Yosita yang sudah berjalan terlebih dahulu terpaksa kembali sekira 70 meter setelah menoleh, mendengar panggilan dari kawanan yang sudah berdiri di depan rumah makan itu.
Kami harus berjalan melewati tangga menuju tempat yang lebih luas dan memuat masa kita yang berjumlah sekira 27 orang. Meski harus berdesakan juga karena memang tempatnya sempit. Pemesananpun dimulai. Sebagian besar memilih nasi ayam bakar, selebihnya memilih nasi rendang, dan nasi cincang. Untuk minumnya mayoritas memilih es teh dan yang lain bervariasi.
Karena waktu yang sudah mencapai pukul 13.25, sedang kami harus segera kembali ke stasiun pada pukul 14.50, maka diputuskanlah untuk mencoba masuk ke Museum BI. Yang malu bertanya sesat di jalan, kan?
Berjalan beberapa ratus meter tak terasa dengan bercengkrama. Dalam hitungan menit kami sudah tiba lagi di Museum BI. Setelah bertanya kepada satpam yang ada di sana, kami dipersilakan untuk masuk. Ternyata seminar tidak mempengaruhi aktivitas museum.
Kami disambut oleh Pak Gede. Beliau meminta maaf apabila fasilitas yang disediakan kurang nyaman karena listrik sedang mati di daerah sana. Lampu dan beberapa AC serta pelengkap sederhana lainnya menggunakan genset.
Sebelum masuk ke ruang inti, kami disuguhi oleh sebuah plakat yang ditandatangani oleh Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono. Dan tanggal yang tertera adalah 21 Juli 2009. Itu artinya kami datang tepat satu tahun museum ini diresmikan setelah pemugaran dan perbaikan sana-sini. Salah satu teman kami yang berulangtahun di tanggal yang sama, Riska, mendapatkan souvenir dari Museum BI. Menurut Pak Gede, Museum BI memang sering memberikan souvenir cuma-cuma bagi pengunjung yang memiliki angka cantik, baik hari ulang tahun maupun tiket masuk.
Alur perjalanan kami diawali di bagian uang dimensi, di mana saat ada koin yang ditampilkan di layar kami tangkap lewat bayangan yang kami pantulkan sendiri, secara otomatis di sebela koin tersebut tertera penjelasan tentang apa, kapan, dan di mana koin tersebut digunakan.
Setelah cukup puas, kami disuguhi oleh sebuah ruang teater yang menampilkan tentang sejarah BI dan tetekbengek lain yang berkaitan. Cukup lama juga di sana. Kemudian, kami menuju ruangan yang memuat cerita panjang perjalanan system keuangan di Indonesia. Mulai dari zaman Hindia Belanda, Jepang, hingga alat tukar yang dulu pernah digunakan. Bahkan ada pula sketsa dari bangunan Museum BI itu sendiri dengan beberapa coretan pensil di sana-sini yang menambah kesan klasik.
Kami puas-puaskan untuk berfoto ria sepanjang perjalanan. Ada yang sendiri-sendiri, bareng-bareng, meski tak tahu itu menggunakan kamera punya siapa. Yang penting eksis, prinsip kami saat itu.
Tak terasa, waktu sudah mendekati pukul 14.30. Sebentar lagi kereta menuju Ekonomi AC yang akan kita gunakan untuk mengantarkan kembali ke habitat asal masing-masing. Beberapa ada yang menggunakan busway.
Berbeda dengan keberangkatan tadi, pulangnya kereta lebih jejal oleh penumpang. Beberapa dari kami yang awalnya duduk dengan ikhlas memberikan tempat duduknya bagi orang yang lebih membutuhkan. Lansia dan ibu hamil. Namun, kami tetap nikmati. Berdiri puluhan menit tidak terasa karena bibir yang tak henti menguntai cerita.
Asrama community turun terlebih dahulu di stasiun UI. Sedangkan Rakhmat dan Aji turun di Pocin, biar dekat FKM. Mereka harus membawa motor yang diparkir di parkiran FKM. Yang turun di stasiun UI segera naik bikun yang kebetulan lewat dan masih sangat kosong. Meski harus memutar dulu ke Balairung, FKM, FT, dan di beberapa titik pemberhentian. Saat melewati FKM, terlihat Rakhmat dan Aji sedang berjalan menuju FKM. Sayang mereka tak mendengar sahutan kami.
Bikun terus berjalan. Entah di pemberhentian ke berapa, Sefi dan Irfan Saleh, dua temanku di Ciamis dulu naik bikun juga. Mereka sedang tinggal di UI beberapa waktu untuk mengikuti seleksi SSB.
Sekira sepuluh menit kemudian, tiba juga di asrama. Aku bergegas menuju kamar dan ganti kostum. Pasalnya, aku harus mengikuti lomba tarik tambang mewakili gedung A. Aku hanya telat beberapa menit dan akhirnya hanya bisa menyoraki, memberi semangat, dan menyaksikan kemenangan grup Alfa dalam tarik tambang melawan kelompok lain. Esok harus lebih konsisten waktu lagi! Itu tekadku.




Entah apa yang meracuni pikiranku hari ini. Pesona sinar yang menutup malam tadi kuawali dengan kerancuan dalam koneksi sel di otak. Aku masih terbenam dalam alam teta saat seseorang meneleponku di sepertiga malam. Meski hingar bingar suaranya sempat menyedotku dari alam bawah sadar, ternyata dunia mimpi lebih aku pilih dibanding bercengkrama dengan pengisi hatiku.

Mentari pun semakin memperlihatkan kekokohannya sebagai pemberkas cahaya. Sedangkan mataku baru mau membuka kelopaknya saat waktu mendekati angka delapan untuk jarum pendeknya dan angka sembilan ditunjuk oleh jarum panjangnya. Aku terkesiap. Kaget tak tertahankan. Tak seperti biasanya aku bangun sesiang ini. -_-“

Begitu nyawaku terkumpul, mataku langsung terpaku pada segunung baju yang pernah aku pakai beberapa hari kemarin. Bersamaan itu pula hp-ku bergetar. Ada tujuh belas missed calls dan 4 new messages! Innalillahi, entah ke mana nyawa ini mengembara.

Yang paling pertama aku buka adalah missed calls. 13 Candidate of…, 2 Ambu Delia, 2 dari dua nomor yang asing dan berbeda. Setelah itu, tanpa tunggu lama lagi tangan ini mengotak-atik keyboard hp untuk membuka sms yang masuk. Dua dari Candidate of…, satu dari Ambu Delia, satu dari UI FT Antin. Saat kubaca yang dari Antin, aku semakin tak bernyawa saja sepertinya. Aku baru ingat kalau kita janjian untuk ke Rektorat, mendaftar hotspot. “Kata Ida kita berangkat jam 10 iia.” Itu isi smsnya. Masih tersisa dua jam lagi. Aku harus segera.

Aku beranjak dari kasur bersarung warna cokelat ini dan menjinjing ember cucian menuju WC. Hampir satu jam aku habiskan untuk mencuci dan mandi serta tetek-bengek lainnya.

Setelah memakai baju yang kiranya pantas dipakai siang ini, aku masukkan laptop ke tas. Plus charger pastinya. Kurasa sudah lengkap dan kini saatnya sarapan. Bersamaan dengan keluarnya aku dari kamar, Antin lewat dan berniat untuk menjemputku. Akhirnya kita turun dan menuju kantin bersama.

***
Berangkatlah kami bertiga menggunakan bikun menuju rektorat. Hampir bablas! Soalnya pakai bikun warna merah. Jadi turunnya lebih awal. Saat lewat atm, ingatanku langsung terhubung dengan dompet. “Innalillahi..!” aku histeris, kaget. Ternyata dompetku ketinggalan. Aku masih ingat, dompet itu masih di laci bekas tadi malam makan.

Dengan langkah gontai akhirnya kita sampai juga di rektorat. Masuk ke sebuah ruangan ber-AC dan bertemu dengan Amy, anak Sastra Korea. Tak banyak basa-basi, kukatakan pada petugas yang di sana bahwa aku ingin mendaftarkan laptopku untuk berselancar di UI secara bebas.

Sempat kulupakan elegi lupa dompet itu saat wallpaper yang aku pakai itu adalah foto bersama Rektor UI, Prof. Dr. der Soz. Gumilar Rusliwa Somantri, pada tahun 2009 silam. Bapak-bapak yang bertugas di sana berdecak kagum. Aku jadi tersipu dan mendapat segenggam keberanian berdiri di sini. Apalagi bapaknya bilang ke teman-temannya bahwa Pak Rektor adalah om aku. =D
***
Setelah berunding beberapa menit, aku, Antin, Ida, dan Amy memutuskan untuk menuju perpustakaan umum. Pasalnya, di sana kita bisa mencoba hotspot juga. Plus ‘colokan’nya pula.

Namun, jarak ke perpustakaan cukup jauh. Rencananya kita akan menggunakan sepeda. Sayangnya, kita harus menyetor KTM untuk menggunakan sepeda. Sedang masalahku di awal tadi, tidak membawa dompet. Padahal semua barang-barang pentingku ada di sana, termasuk KTM.

Akhirnya, mencoba-coba menggunakan kartu SIAK-NG, ternyata aku bisa juga bersepeda ria.

Setibanya di perpustakaan, aku bersama Antin dan Amy langsung menghidupkan laptop untuk mencoba tapak barusan. Sedang Ida masih ada problem di laptopnya. Jadi belum  bisa digunakan. Satu menit, lima menit, hingga menjelang dzuhur ternyata sinyalnya belum juga menyala. Aku yang tidak terlalu membutuhkan dunia maya saat itu menggunakan waktu untuk menambah beberapa elemen di calon cerpen. Sedang Antin beralih membaca buku danAmy mendengarkan musik. Tak lama, laptop Amy bisa connect juga.

Aku, Ida, dan Antin pergi terlebih dahulu karena adzan sudah memanggil. Sedang Amy yang katanya sedang downloading masih stay di tempat duduknya.

Tujuan awal kita itu ke MUI. Akan tetapi, di dekat MUI tidak ada tempat menyimpanan sepeda. Akhirnya perjalanan diteruskan hingga ke seberang F-Psi. Dan shalat pun kami putuskan di mushola FH. Sekalian menikmati bagaimana hawanya tempat belajarnya para ahli hukum. Di dekat mushola, kami disuguhi oleh kursi-kursi yang terlihat pewe. Saat duduk… Krekeeettt… Besi tua yang berkarat dan sudah tidak kokoh itu menyuarakan linunya. Meski agak degdegan juga, takut lebih parah rusaknya, tapi kita diam sejenak untuk menepis peluh setelah menantang matahari mengayuh sepeda dan berjalan menuju FH.

Setelah shalat, kita langsung ke halte bikun, menunggu yang menjemput untuk kembali ke singgasana. n_n




KAMI SIAP MENGABDI!

Bersua di alam maya belum membuat kita puas.
Bersatunya anak bangsa yang (akan segera) merantau ke ibukota.
Dari Sabang sampai Merauke.
Dari Rote hingga ke Talaud.

Akhirnya aku tiba juga di kampus perjuangan.
Setelah menunggu dari Januari, akhirnya tiba pula di pertengahan Juni, di 16 tepatnya.
Namun kala itu waktu belum mempertemukan kita.
Tiga hari berikutnya, Tuhan izinkan kerinduan ini sirna.
Menjabat sebagai mahasiswa baru Universitas Indonesia,
kami bersua di pinggir danau dekat rektorat.
Inilah saksi pertemuan besar kami yang pertama.



Akhirnya, tiba juga hari ini. Saat yang membuatku paranoid selama jangka waktu yang cukup lama.

Kini, usiaku 17 tahun. Jujur, aku masih merasa menjadi anak kecil. Namun bagaimana pun aku harus banyak berubah, menjadi pribadi berakhlakul karimah, visioner, tangguh, dan siap menghadapi dan menaklukan tantangan masa depan.

Tujuh belas tahun. Orang-orang bilang sweet seventeen. Masa yang indah. Saat di mana kita sudah semakin bebas, semakin dewasa, bisa miliki segalanya. Tapi bagiku tidak! Usia 17 tahun berarti pembuktian pengabdian. Mewujudkan mimpi-mimpi dan membentuk generasi baru yang lebih unggul.

Bagiku, 17 tahun berarti taraf pendidikanku harus sudah semakin meningkat. Tanggung jawab pun semakin banyak. Bukan hanya masalah diri sendiri, akan tetapi melindungi adik dan generasi penerus, memperjuangkan kebenaran Islam di muka dunia, berbakti kepada kedua orang tua dan keluarga, serta pengabdian untuk negeri.

Sungguh aku berterima kasih kepada Allah yang sebesar-besarnya. Bukan gombal, tapi ini nyata. Aku merasakan ada jiwa baru yang menyelusup ke sanubari. Ruh pribadi yang matang dengan pemikiran yang dewasa. Semoga firasatku benar.

Ada penyesalan atas kekhilafanku menolak usia 17 tahun ini. Penolakkan yang membuatku frustasi dan malah menghancurkan beberapa pilar mimpiku. Hampir saja aku hancurkan semuanya!

Harusnya aku bersyukur. Aku baru menyadari, begitu banyak orang yang masih mengingatku, menyayangiku, tahu dan menyadari keberadaanku. Di wall fb, lebih dari 80 wall yang mengucapakn b’day kepadaku. Begitu pula yang di message.

Tak hanya itu, aku masih memiliki kedua orang tua yang begitu menyayangi dan melindungiku. Bahkan, di sela kesibukan mereka, mereka mengizinkan dan menyiapkan makanan untuk acara munggahan kelas XII IPA B sekaligus perayaan ultahku.

Di usia ini pun, Allah begitu murah hati dan mengizinkan salah seorang kekasih-Mu menjadi bagian hidupku. Aku berharap, ia bisa mendampingiku hingga akhir hayat nanti. Amin.

Sedih juga. Di hari istimewa ini ia tidak ada bersamaku. Bukan tidak ingin, tapi ada yang lebih penting dan prioritas dari ini. Kasihan juga.

Aku ingin menjadi penguatnya di saat ia pincang. Menjadi bagian dari sejarah kisah bahagianya. Ya Allah, benarkah aku mencintainya? Namun, pantaskah aku untuk berlaku seperti ini? Aku masih ingin menjadi hamba-Mu, Ya Allah. Hamba-Mu yang taat beribadah, cerdas, dan memiliki hubungan sosial yang baik. Amin.

Hari sebelumnya, tanggal 19, sebelum XII IPA B berangkat, ia pamit. Sedih banget. Tadinya mau agak sore. Tapi Soge, Fitri, Memet, n Ibad ‘ngajujurung’ terus. Akhirnya aku hampiri mereka yang sedang di Bi Oot. Sempat ngobrol beberapa saat. Lalu kita sepakat buat ngobrol di ruang OSIS.

Di sana, aku hampir saja menangis. Tapi setidaknya aku bisa menatap matanya, dari dekat, dengan adanya senyum dan elusan hangat darinya membuatku agak membaik. Aku rindukan elusannya. Sangat. Kemarin, sepanjang di ruang OSIS ia terus mengelus kepalaku. Allah, mengapa harus ada rindu??

Hanya sebentar di ruang OSIS. Kita berjalan berdua, melewati dunia yang ternyata membuat Fay panas hati dan menutup pintu plus menggambar tak jelas. Ia jealous sepertinya. sekaligus kasihin kado ultah untukku. Boneka ternyata. Aku baru buka bungkusnya di rumah.


Mendengar katamu, luluhkan hati

Melihat matamu, rasakan kehangatan

Bayangkan senyummu, ronakan pipiku

Kau adalah titisan yang Tuhan berikan agar aku lebih hidup

Kau adalah anugerah

Kilau cahaya dalam gelap

Yang menambah catatan perjalananku penuh pelajaran

Namun, kata-katamu kerapkali membuatku bingung

Menimbulkan keraguan dan kecemasan karena takut kehilanganmu

Kau yang membuatku cemburu

Karena begitu banyak orang yang mengagumi dan menyayangi

Meski seringkali kau tak menyadarinya

Kau yang membuatku berubah

Mengantarkan diriku berevolusi

Menjadi seorang yang kau mimpikan

Kau adalah penjahat

Yang tak jarang buatku menangis

Kau telah masuk ke ranah jiwaku

Yang dengan diammu selalu membuatku gelisah

Tapi kau adalah pengobatku

Membuang segala hal buruk yang menimpaku

Kau adalah kelembutan yang tiada tara

Yang dengan belaianmu membuatku nyaman

Aku mengagumi dan meneladanimu

Karena kau adalah guru bagiku

9.36 am

September 29th, 2009


karena manusia adalah manusia
yang diarahkan oleh sensorik dalam tubuhnya
hanya sepersekian saja yang bisa pengaruhinya
apalagi dalam sebuah keputusan

aku pun masih tak mengerti manusia itu apa
seperti apa
untuk apa

ada saja yang diperhatikan, meski tak ingin diperlakukan demikian

di sisi lain,
di ujung tombak yang berdiri tegak, namun sesungguhnya hampir rapuh
ada seorang yang sedang kelimpungan
mencari dirinya sendiri
menemukan kehidupannya
yang terlihat tegar namun tetaplah rapuh

ada tangisan
ada impian untuk menerawang masa depan

tapi siapa yang akan merangkul?

jika ada dalam doa saja

ya
doa begitu dasyat
tapi tanpa ikhtiar
mestikah lagi ada kehidupan?

15:35
5 Juli 2009