twitter


Dahulu dan Hari Ini

Antara ogah dan lelah, aku duduk di bangku merah yang catnya mulai memudar.  Ditemani seorang kawan, aku memesan ice cappuccino, berharap pikiran yang menegang sejak dua-tiga minggu kemarin bisa lebih rileks.

Sembari menunggu, mataku terpancing oleh sebuah tabloid dar fakultas sebelah.  Headline-nya kali ini tentang kebijakan pembiayaan di kampus.  Masih bermasalah juga ternyata sampai sekarang.

Halaman berikutnya, tak terlalu aku pedulikan.   Hingga tiba di halaman terakhir.  Parade foto yang menampilkan kebebasan di kampus.  Potret kemirisan yang tak disangka, namun tetap suatu yang nyata.  Di kampus yang harusnya mencetak para intelek gitu lho…

Bir.  Kerudung.  Berduaan.  Tiga hal ini yang menjadi sorotan.  Tiba-tiba hatiku bergemuruh.  Emosiku mendidih.  Amarahku memuncak. 

Kok gitu, sih?  Kok ga sadar akan hijabnya, sih?  Kok mereka ga belajar, sih?  Kok begitu beraninya di tempat umum, sih?  Kok ga inget sama bonyok, sih?  Kok… Kok… Kok… dan ‘Kok’ lain terus bergemuruh di sanubari. 

Kuteguk sedikit cappuccino yang baru saja tiba.  Sebagai pendingin awalnya.  Tapi entah mengapa, hati ini masih meneriakkan kekecewaan akan kenyataan dalam foto-foto itu.  Sedang temanku sedang pergi sebentar karena ada telepon dari kakaknya.

Emosiku masih agak labil dan rasanya ada yang mengetuk dari dalam diri. 

Apaan, sih?  Siapa yang berani merusak emosiku, huh? 

Ketukan itu masih tetap ada hingga aku menjadi gusar dan penasaran.  Bisaaa aja cari perhatiannya. -_-‘

Aku terdiam sejenak.  Kubuka rasa sadarku.  Ternyata yang mengusik itu si hati kecil; hati kejujuran yang menyimpan banyak kenangan di masa silam. 

Tanpa menunggu aku mengeluarkan kalimat ‘Ada apa?’, ia langsung nyerocos saja bicara.

“Del, sadarkah?  Dulu kamu juga pernah melakukan hal seperti itu.  Berduaan.  Berkerudung.  Terlepas dari apapun niatnya; belajar, main, mengantar, curhat, maupun alibi-alibi yang lain; bagaimana pun kau pernah berada di posisi mereka.  Mungkin, yang dulu kau sebut ‘perusak hubungan’ itu hanyalah sebuah ungkapan kepedulian terhadap tingkah lakumu yang tidak mencerminkan ajaran yang Rasulullah ajarkan.  Ya, kini memang kau sedang membangun benteng diri setinggi-tingginya, sekuat-kuatnya, setebal-tebalnya.  Kau mulai mengenal dan menyadari dengan hati, apa itu hijab; apa itu menutup diri; bagaimanakah menahan diri dari godaan.  Sadarkah?  Sesungguhnya saat ini kau baru belajar.  Baru tahu satu-dua ilmu.  Pengaplikasiannya juga belum tentu sesuai syari’at, sehingga emosimu itu bukanlah yang selayaknya kau lontarkan.  Boleh kamu marah.  Boleh kamu sedih.  Tapi apakah itu menyelesaikan masalah?  Apakah ungkapan kekecewaanmu sampai pada mereka?  Belum tentu dan bahkan kemungkinan tidak sampai.  Masih ingat materi keputerian kemarin yang juga disebutkan kembali sore hari tadi? ‘Apabila kau melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tanganmu.  Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisanmu.  Jika masih belum bisa, maka ubahlah dengan hatimu melalui doamu.’  Apakah ada perintah ‘dengan emosimu’ atau ‘dengan amarahmu’?  Tidak ada, bukan?”

Aku menunduk sambil beristighfar berkali-kali.  Kedatangan temanku pun tak terlalu aku hiraukan.  Hanya bayang-bayang yang tertangkap. 

“Bersyukurlah hatimu sudah mulai menentukan komitmen.  Jadikanlah masa lalumu sebagai senjata untuk masuk ke dunia smereka, untuk samakan keadaan; dan jadikan saat ini sebagai magnet akan transformasi mereka.  Ini adalah salah satu wahana untuk ‘IMPROVING-INSPIRING’, jargon yang kau buat sebagai penguat cita-citamu.  Selamat berjuang!  Oya, jangan lupa.  Mungkin saja sebenarnya mereka sudah menikah.”   Sang hati kecil tersenyum dan memudar bayangnya hingga tak terlihat lagi rupanya.

“Astaghfirullah…” ungkapku keras.

Temanku mengernyitkan dahi tanda heran sampai ia menghentikan minumnya.  Aku pun ceritakan dialog dengan kata hati itu antara sedih, malu, dan bersyukur.
***

Dahulu dan hari ini akan berubah jika memang aku ingin mengubahnya. 

Kupersembahkan untuk mamah dan bapak sebagai bukti perubahanku. “Aku ingin menjadi anak yang sholehan, Mah, Pa.  Yang memakaikanmu jubah emas di syurga nanti sebagai baktiku atas cinta kasihmu.”

Di akhir coretan ini, aku sisipkan sebilah puisi   buah pena Salim A.s Fillah yang aku dapat dari email yang dikirim oleh salah satu sahabat seperjuangan.

Ridha Allah tidak terletak pada sulit atau mudahnya
Berat atau ringannya, tawa atau tangisnya
Senyum atau lukanya, bahagia atau deritanya

Ridha Allah terletak pada
Apakah kita menaatiNya
Dalam menghadap semua itu
 Apakah kita berjalan dengan menjaga perintah dan laranganNya
Dalam semua keadaan dan ikhtiar yang kita lakukan
Maka selagi disitu engkau masih berjalan
Bersemangatlah kawan!                                                                                                

8.08 am
3 April 2011

0 komentar:

Posting Komentar