twitter


Tak kuasa kumenahan rinai-rinai bola mata yang mengalir tanpa kuundang. Entah suatu kebodohan atau perenungan mendalam kalau aku belum bisa lepas dari sosok yang selama ini kuanggap telah melepasku dari dulu. Dua figur yang menjadi motivator terbesar dalam hidupku. Mamah dan Bapak.

Air mata tak tertahankan saatku tak sengaja menatap dalam foto beliau. Aku sempat rindu tak tertahankan. Aku sempat menjadi orang tak terarah tanpa kekerannya. Aku juga sempat kelimpungan berjalan tanpa arahannya. Tapi aku tersandung pada sebuah angka, hampir delapan belas tahun. Ya, sebuah angka fantastis untuk melepas seorang belia ke rimba kehidupan.

Aku pun mulai merambah di kejamnya atmosfer. Aku percayakan saja pada kedua tonggak yang telah menemaniku sepanjang perjalanan. Dan aku juga percayakan pada nurani dan mimpi yang sudah menunggu kedatanganku.

Aku ikhlaskan dan nikmati apa yang terjadi pada perasaanku, karena itulah hidup.

Ya Allah, hamba tahu Engkau mendengar doa-doa hamba.
Hamba harap Engkau wujudkan keinginan hamba.
Hamba yakin, Engkau lebih tahu apa yang hamba butuhkan.

Aku sekarang di sini. Di kampus perjuangan. Berlenggang dari jauh hanya untuk mendaki mimpi ke puncak kesuksesan. Meski jauh, aku yakin Allah, orang tua, dan orang-orang yang hamba sayangi dekat denganku, dengan hatiku, dengan nadiku.

Aku pergi untuk meraih mimpi.
Aku pergi untuk mengabdi.
Aku pergi untuk mendapatkan yang hakiki.
Aku pergi untuk meraih ridho-Nya.
Karena aku pergi tidak sendiri.
Aku pergi ada yang mengawasi.
Aku pergi bukan sekedar jalan kaki.
Karena aku pergi untuk mendaki.
Aku pergi ke puncak paling tinggi.
Namun aku pergi pasti untuk kembali.

0 komentar:

Posting Komentar