Entah apa yang meracuni pikiranku hari ini. Pesona sinar yang menutup malam tadi kuawali dengan kerancuan dalam koneksi sel di otak. Aku masih terbenam dalam alam teta saat seseorang meneleponku di sepertiga malam. Meski hingar bingar suaranya sempat menyedotku dari alam bawah sadar, ternyata dunia mimpi lebih aku pilih dibanding bercengkrama dengan pengisi hatiku.
Mentari pun semakin memperlihatkan kekokohannya sebagai pemberkas cahaya. Sedangkan mataku baru mau membuka kelopaknya saat waktu mendekati angka delapan untuk jarum pendeknya dan angka sembilan ditunjuk oleh jarum panjangnya. Aku terkesiap. Kaget tak tertahankan. Tak seperti biasanya aku bangun sesiang ini. -_-“
Begitu nyawaku terkumpul, mataku langsung terpaku pada segunung baju yang pernah aku pakai beberapa hari kemarin. Bersamaan itu pula hp-ku bergetar. Ada tujuh belas missed calls dan 4 new messages! Innalillahi, entah ke mana nyawa ini mengembara.
Yang paling pertama aku buka adalah missed calls. 13 Candidate of…, 2 Ambu Delia, 2 dari dua nomor yang asing dan berbeda. Setelah itu, tanpa tunggu lama lagi tangan ini mengotak-atik keyboard hp untuk membuka sms yang masuk. Dua dari Candidate of…, satu dari Ambu Delia, satu dari UI FT Antin. Saat kubaca yang dari Antin, aku semakin tak bernyawa saja sepertinya. Aku baru ingat kalau kita janjian untuk ke Rektorat, mendaftar hotspot. “Kata Ida kita berangkat jam 10 iia.” Itu isi smsnya. Masih tersisa dua jam lagi. Aku harus segera.
Aku beranjak dari kasur bersarung warna cokelat ini dan menjinjing ember cucian menuju WC. Hampir satu jam aku habiskan untuk mencuci dan mandi serta tetek-bengek lainnya.
Setelah memakai baju yang kiranya pantas dipakai siang ini, aku masukkan laptop ke tas. Plus charger pastinya. Kurasa sudah lengkap dan kini saatnya sarapan. Bersamaan dengan keluarnya aku dari kamar, Antin lewat dan berniat untuk menjemputku. Akhirnya kita turun dan menuju kantin bersama.
***
Berangkatlah kami bertiga menggunakan bikun menuju rektorat. Hampir bablas! Soalnya pakai bikun warna merah. Jadi turunnya lebih awal. Saat lewat atm, ingatanku langsung terhubung dengan dompet. “Innalillahi..!” aku histeris, kaget. Ternyata dompetku ketinggalan. Aku masih ingat, dompet itu masih di laci bekas tadi malam makan.
Dengan langkah gontai akhirnya kita sampai juga di rektorat. Masuk ke sebuah ruangan ber-AC dan bertemu dengan Amy, anak Sastra Korea. Tak banyak basa-basi, kukatakan pada petugas yang di sana bahwa aku ingin mendaftarkan laptopku untuk berselancar di UI secara bebas.
Sempat kulupakan elegi lupa dompet itu saat wallpaper yang aku pakai itu adalah foto bersama Rektor UI, Prof. Dr. der Soz. Gumilar Rusliwa Somantri, pada tahun 2009 silam. Bapak-bapak yang bertugas di sana berdecak kagum. Aku jadi tersipu dan mendapat segenggam keberanian berdiri di sini. Apalagi bapaknya bilang ke teman-temannya bahwa Pak Rektor adalah om aku. =D
***
Setelah berunding beberapa menit, aku, Antin, Ida, dan Amy memutuskan untuk menuju perpustakaan umum. Pasalnya, di sana kita bisa mencoba hotspot juga. Plus ‘colokan’nya pula.
Namun, jarak ke perpustakaan cukup jauh. Rencananya kita akan menggunakan sepeda. Sayangnya, kita harus menyetor KTM untuk menggunakan sepeda. Sedang masalahku di awal tadi, tidak membawa dompet. Padahal semua barang-barang pentingku ada di sana, termasuk KTM.
Akhirnya, mencoba-coba menggunakan kartu SIAK-NG, ternyata aku bisa juga bersepeda ria.
Setibanya di perpustakaan, aku bersama Antin dan Amy langsung menghidupkan laptop untuk mencoba tapak barusan. Sedang Ida masih ada problem di laptopnya. Jadi belum bisa digunakan. Satu menit, lima menit, hingga menjelang dzuhur ternyata sinyalnya belum juga menyala. Aku yang tidak terlalu membutuhkan dunia maya saat itu menggunakan waktu untuk menambah beberapa elemen di calon cerpen. Sedang Antin beralih membaca buku danAmy mendengarkan musik. Tak lama, laptop Amy bisa connect juga.
Aku, Ida, dan Antin pergi terlebih dahulu karena adzan sudah memanggil. Sedang Amy yang katanya sedang downloading masih stay di tempat duduknya.
Tujuan awal kita itu ke MUI. Akan tetapi, di dekat MUI tidak ada tempat menyimpanan sepeda. Akhirnya perjalanan diteruskan hingga ke seberang F-Psi. Dan shalat pun kami putuskan di mushola FH. Sekalian menikmati bagaimana hawanya tempat belajarnya para ahli hukum. Di dekat mushola, kami disuguhi oleh kursi-kursi yang terlihat pewe. Saat duduk… Krekeeettt… Besi tua yang berkarat dan sudah tidak kokoh itu menyuarakan linunya. Meski agak degdegan juga, takut lebih parah rusaknya, tapi kita diam sejenak untuk menepis peluh setelah menantang matahari mengayuh sepeda dan berjalan menuju FH.
Setelah shalat, kita langsung ke halte bikun, menunggu yang menjemput untuk kembali ke singgasana. n_n