twitter



Surat buat Adik…
Ruang Kesaksian, 13 Maret 2011
Untuk Adikku yang Tak Pernah Gentar
di Perjalanan Kesuksesan
Dik, bagaimanakah kabarmu?  Kudengar engkau sedang dalam kegamangan.  Perubahan aturan ujian tahun ini cukup membuat idealismemu sedikit luntur.  Terlebih aturan seleksi masuk perguruan tinggi banyak perubahan juga.
Tenanglah, Dik.  Mari kita mulai dengan niat suci, Lillahi ta’ala.  Dari sebuah visi yang tak sekedar untuk mencari popularitas.  Tapi lebih dari itu, untuk memberikan perubahan lebih baik untuk bangsa dan agama.
Maaf jika surat ini mengganggu strategimu atau bahkan merusak rencana matangmu. Lewat coretan ini aku hanya ingin aku berbagi denganmu.  Berbagi kisah yang sebentar lagi mungkin akan kau temui.  Bukan bermaksud menggurui.  Hanya saja, aku tak ingin kau mengulang kisah kelabuku dan merasakan naik dan turunnya motivasi mimpi yang membuat banyak hal terganggu.
Ini adalah dorongan perbaikan diri menuju perbaikan bangsa.  Tentang kesadaran yang terlambat.  Tentang ambisi akan pujian.  Tentang kebutaan atas kesombongan.  Tentang ketidakjujuran yang pernah aku lakukan.  Dan tentang harapan yang masih ada.  Tentang perubahan yang masih mampu terlaksana.  Tentang keburukan yang ingin aku hentikan mata rantainya.  Saat ini.  Saat di mana engkau dihadapkan dengan ujian yang semakin menantang.  Saat ini.  Saat keburukan ingin kubinasakan dalam-dalam.
Di akhir jenjang ini kau dihadapkan dengan ujian yang kerapkali menjadi kegetiran di hati kalian.  Terlebih kini dengan situasi yang lebih ‘mengasyikan’.  Percayalah, DIk.  Semakin menantang ujian yang kau hadapi, semakin banyak pelajaran hidup yang kau ambil, semakin dewasa pula engkau dalam berbuat.  Aku percaya, Dik. Engkau tak akan melakukan hal yang tak mulia itu.  Jika memang telah terbersit di benakmu, aku mohon luruskan kembali niat muliamu.
Bukan bermaksud untuk mengatur pilihan hidupmu.  Aku hanya ingin engkau menyadari lebih awal dari apa yang baru aku sadari.  Jujur, aku menyesal, Dik, pernah ‘bekerja sama’ saat ujian dulu.  Aku juga menyesal pernah melalaikan tugas.  Bahkan pernah juga aku tak masuk kelas karena malas.  Padahal belajar pun mengandalkan di kelas karena di rumah kupegang buku hanya untuk mengganti jadwal.  Saat menghadapi ujian pun aku baru belajar saat malamnya.  Aku sedih, nilai-nilai yang aku dapat hanya nilai remedial. 
Dulu aku belum sadar sepenuhnya tentang apa yang aku lakukan.  Hingga akhirnya asa suram itu hadir, menguasai diri, mengarahkan pada hal yang tak selayaknya dipijaki.  Secara teori, antara hitam dan putih itu begitu kontras, begitu mencolok, dan begitu jauh perbandingannya.  Tapi berbeda dengan kenyataan. Benci dan cinta.  Hitam dan putih.  Taat dan biadab.  Begitu tipis benang pemisahnya.  Hingga seringkali tak disadari bahwa kita sudah berada di jalur yang entah di mana kemuliaannya.
Perlu waktu berbulan-bulan dan beberapa kejadian untuk menyadari betapa bandelnya aku saat dulu.  Tak bersyukur atas kesempatan yang telah Allah anugerahkan.  Kusadari betapa buruk persiapanku menghadapi masa depan.  Hingga akhirnya, saat ujian aku gelisah, tak percaya diri, hasil tak memuaskan, raut orang tua pun menyesakkan air mata. Dik, jangan sia-siakan kesempatan ini.  Jangan lengah terhadap situasi.  Tapi hati-hati, jangan sampai engkau terlalu berambisi karena hal itu akan membutakanmu.  Membuatmu lepas kendali dan tak siap dengan berbagai kondisi. 
Oya, sudah sejauh mana persiapanmu menghadapi ujian?  Aku yakin sudah maksimal.  Semoga semangatmu selalu berpacu dengan cita-citamu dan niat muliamu tak tergoyahkan oleh bisikan yang membuai namun menyesatkan. 
Saat menghadapi ujian dulu, banyak sekali kabar burung yang berkembang.  Banyak pula strategi ‘miring’ yang (katanya) dilakukan oleh berbagai oknum.  Ada kunci jawaban yang didapat dari teman di sekolah lain.  Ada juga kunci jawaban yang disebar lewat sms.  Yang lebih mengenaskan, kunci jawaban dijualbelikan kepada siswa bahkan guru dengan harga puluhan ribu hingga mencapai jutaan.
Selain itu, ada pula strategi yang dilakukan saat ujian berlangsung di mana masing-masing kelas ada ‘gegedug’nya dan kunci jawaban disebar di toilet, lewat gerak pantomim, bahkan LJK dikelilingkan.  Strategi menuliskan kunci jawaban yang telah diketahui di secarik kertas, penghapus, atau menuliskan rumus di beberapa alat yang strategis, berdasarkan cerita dari beberapa orang, masih terjadi di angkatanku.  Bahkan ada juga yang ‘dihalalkan’ bekerja sama dengan leluasa. “Asal tidak berisik dan mencurigakan.” Dan begitu bangganya dengan nilai ujian tertinggi meski entah dengan cara apa mendapatkannya.  
Bagaimanakah dengan angkatanmu?  Sudah terciumkah strategi seperti ini?  Ataukah ada strategi baru yang lebih ‘canggih’? 
Semoga tetap berkobar semangat idealismemu.  Tunjukkanlah bahwa kalian memang benar-benar generasi Ulul Albab, yang kerapkali engkau dengungkan seantero gedung.  Buktikanlah bahwa kalian memang generasi pilihan yang Allah titiskan di bumi ini.  Jangan sampai engkau telah berpredikat koruptor dari sekarang.  Aku mohon, jangan perparah ibu pertiwi ini.  Jangan ikuti jejak burukku, jejak buruk generasi sebelumnya.
Dik, percayalah akan kemampuanmu.  Tunjukkanlah usaha maksimalmu.  Buktikanlah gairah cita-citamu.  Jangan pernah mengatasnamakan kebenaran di atas kesalahan.  Terlebih mengatasnamakan kesalahan di atas kebenaran.  Fokuskan pada dua pilihan kalian, hidup mulia atau mati syahid! Just it!  Katakan bahwa kecurangan adalah kedustaan besar, berdusta adalah pembohongan publik, dan pembohongan adalah dzolim.  Jangan sampai terbuai dengan rayuan ‘citra’ atau ‘nama baik’. Aku mohon.  Apakah kau ingin dipermalukan oleh kepalsuan yang kau buat sendiri?  Di kuliah akan semakin nyata dan terasa, Dik, karena pergaulanmu semakin luas, temanmu banyak, pengalamannya inspiratif, dan tujuan hidup mereka telah terdokumentasi rapi satu persatu tanpa parasit kepada diri sendiri ataupun orang lain.
Dik, sadarlah.  Di tanganmu ada segenggam harapan.  Ada harapan sopir dan kondektur yang hanya mendapat Rp2.500,00 setiap penumpang dengan lama perjalanan satu jam.  Ada harapan pemungut sampah yang begitu senang saat ada acara karena dipastika mendapat banyak barang bekas yang tersisa.  Juga ada semangat harapan adik-adik kita yang harus berangkat jam 5 pagi untuk menjual koran dan pulang bisa mencapai pukul 10 malam.  Kebanyakan kita tahu, tapi belum menyadari betapa akan berpengaruhnya tindakan kita saat ini untuk perbaikan bangsa ke depan.
Percayalah, Dik.  Sudah saatnya bangsa ini berubah.  Aku memang terlalu terlalu terlambat untuk menyadari kekhilafan yang benar-benar disadari.  Tapi aku tidak akan pernah terlambat untuk mendorong kalian menjadi pribadi yang mumpuni.  Aku ingin engkau tidak mengalami penyesalan yang terlambat seperti yang aku alami.  Jangan pernah takut untuk mengatakan kebenaran.  Dan kini saatnya kita wujudkan visi utama kita sebagai insan-Nya, sebagai khalifah di muka bumi yang memiliki ilmu pengetahuan dan mengamalkannya untuk kesejahteraan umat.  Mari mulai dengan niat yang lurus, hati yang tulus, dan pribadi yang jujur.
Terima kasih telah bersedia membaca.  Semoga engkau paham. Semoga engkau lebih terbuka dan tergerak untuk kebenaran.  Salam reformasi untuk civitas akademika yang masih ‘miring’ dan salam perjuangan untuk civitas akademika yang sudah mengibarkan kemuliaan.

S. A. Deliabilda
Kesmas S1 Reg FKM UI 2010

0 komentar:

Posting Komentar