Hari yang indah dan menyenangkan. Menyelami secuil napas kota Batavia bersama ternyata memberikan sensasi berbeda dan menghasilkan paduan persahabatan yang semakin erat. Bersama 20an FKMers dan beberapa orang ‘penyusup’, aku berangkat menuju Kota Tua.
Sebenarnya, rencana ini sudah dikomunikasikan sedari lama. Namun, demi kebersamaan, akhirnya kita saling tunggu sekalian menunggu waktu yang selaras agar nuansa pertemanan kita semakin kentara. Sekitar Sabtu, aku dapat sms dari Rakhmat yang mengajak ke Kota Tua bersama FKM lainnya.
Seninnya, jalan-jalan ke Kota Tua diputuskan dengan hasil kita berangkat menggunakan KRL Ekonomi AC dengan harga Rp 5.500,00 pada pukul 8.49. Namun kenyataan berkehendak lain. Menunggu memang sebuah hal yang enggan dilakoni. Tapi itulah yang terjadi. Memang ada beberapa orang yang datang tidak sesuai waktu yang dijadwalkan.
Sekira pukul 09.00, kami pun hengkang dari BPM (Bawah Pohon Mangga)nya FKM. Tak lupa mengabadikan kebersamaan kita terlebih dahulu di depan gedung tempat kita menemukan arah menuju cita-cita masa depan nanti, FKM tercinta.
Sambil menunggu kedatangan seorang teman lagi, Fauzi, kami berjalan menuju stasiun di Pocin. Untungnya kereta akan ada lagi beberapa menit kemudian. Namun, 9.30 Fauzi belum juga datang. Padahal kereta tiba lima menit lagi menurut jadwal. Dari kejauhan samar-samar terlihat seseorang berjalan memakai kemeja kotak-kotak merah. Dia semakin menghampiri. Akhirnya, Fauzi hadir juga. Sayang ia tidak ikut berfoto ria bersama dengan sang fotografer Joko alias Noviaji Joko Priono.
Kereta datang tepat waktu ternyata. Meski tak terlalu penuh, namun sebagian dari kami berdiri. Kebanyakan para pria yang tangguh (cieeilleeehh…). Ada Aji, Rakhmat, Joko, plus beberapa wonder women. Ada Tari, Zulfa, Amel. Jauh sebelah sana ada juga beberapa yang berdiri. Namun aku tak memperhatikan terlalu jelas karena jaraknya memang cukup jauh.
Beruntung aku dapat tempat duduk. Begitu juga dengan beberapa yang lain. Namun, tempatku tak strategis. Aku hanya berdiam diri karena bingung mau ngobrol dengan siapa(?). Keasyikan teman-teman yang berdiri membuatku tergoda untuk merasakan bagaimana nikmatnya berdiri di kereta. Kuputuskan untuk berdiri dan berbaur dengan yang lain.
Kelamaan, aku merasakanpegal di pinggang. Mungkin ini efek dari tarik tambang kemarin. Karena semakin banyak yang kosong, aku putuskan untuk duduk kembali. Begitu pula dengan yang lain. Tinggal Aji dan Zulfa yang tersisa.
***
Tiba juga di stasiun kota setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 40 menit. Namun kami masih harus menunggu beberapa orang lagi. Rombongan Icha dan Riska. Mengatasi kejenuhan, kami isi dengan saling bertukar nomor hp dan ngobrol ngaler ngidul.
Lebih dari jam 10. Berkumpul juga sang pengembara yang akan menaklukan Batavia seharian ini. Melewati terowongan bawah tanah, kami menuju Kota Tua. Kami sempat berdiam di depan Museum BI. Tadinya mau langsung masuk, namun karena terjebak oleh sebuah spanduk yang bertuliskan seminar di tanggal ini, kami meneruskan perjalanan menuju museum Fatahillah. Sepeda-sepeda ontel berwarna-warni dengan topi bundar menyambut kami di halaman bangunan yang luas itu.
Kami habiskan sekira 15 menit untuk mengabadikan momen dengan pelbagai gaya. Setelahnya, langsung menuju ke dalam. Sempat ‘macet’ juga di pembelian karcis. Soalnya bimbang, antara pakai KTM dengan bayar Rp 750,00 atau langsung bayar Rp 1.000,00. Tak lama berselang, diputuskanlah kita membayar Rp 1.000,00.
Menuju ke dalam, turis berselimpangan. Ada niatan juga untuk ngobrol sepatah duapatah kata. Namun urung dilakukan. “Del, banyak temen-temen kamu tuh...” kata Rakhmat. Mimikku yang bertanya ‘siapa?’ dan ‘mana?’ langsung dijawab dengan tunjukkan tangan. “Tuh…” seraya menunjuk ke arah turis. “Tak pede, ah. Kamu aja. Ntar aku nimbrung. Hehehe…” “Kan kamu yang lebih punya pengalaman.”
***
Sesi foto dilanjutkan kembali. Kali ini lebih menggila. Hampir tiap tempat kami berfoto dengan beberapa jepretan. Entah siapa yang memfoto, entah pakai hp/camdig siapa untuk difoto. Yang pasti, narsis teruuus. =D
Ada tempat yang cukup unik, yakni (sepertinya) bekas penjara. Dilihat dari jeruji, pintu, desain, hingga tempat pemasungan mengacu bahwa itu adalah bekas penjara dulunya.
Perjalanan dilanjutkan lagi ke bagian atas. Banyak benda-benda peninggalan, seperti guci, perhiasan, dan beberapa barang lain plus dengan deskripsinya.
***
Matahari semakin memanggang kami. Teriknya membuat kami berpeluh dan butuh penyegaran. Untungnya, sepoi angin cukup membantu. Namun perut kami ternyata tidak bisa berkompromi. Karena waktu sudah menunjukkan jam shalat dan sayup-sayup adzan mulai berkumandang, kami mencari mushola. Sayangnya, musola yang ada di sekitar sana airnya tidak mengalir akibat aliran listrik mati. Berdasarkan info, tak jauh ada mesjid. Kami pun menuju ke sana sembari beristirahat sejenak.
Makan-makan menjadi tujuan berikutnya. Tadinya mau ke Monas. Tetapi ternyata ada juga Warung Nasi Padang. Kelihatannya juga bersih. Aku, Tari, dan Yosita yang sudah berjalan terlebih dahulu terpaksa kembali sekira 70 meter setelah menoleh, mendengar panggilan dari kawanan yang sudah berdiri di depan rumah makan itu.
Kami harus berjalan melewati tangga menuju tempat yang lebih luas dan memuat masa kita yang berjumlah sekira 27 orang. Meski harus berdesakan juga karena memang tempatnya sempit. Pemesananpun dimulai. Sebagian besar memilih nasi ayam bakar, selebihnya memilih nasi rendang, dan nasi cincang. Untuk minumnya mayoritas memilih es teh dan yang lain bervariasi.
Karena waktu yang sudah mencapai pukul 13.25, sedang kami harus segera kembali ke stasiun pada pukul 14.50, maka diputuskanlah untuk mencoba masuk ke Museum BI. Yang malu bertanya sesat di jalan, kan?
Berjalan beberapa ratus meter tak terasa dengan bercengkrama. Dalam hitungan menit kami sudah tiba lagi di Museum BI. Setelah bertanya kepada satpam yang ada di sana, kami dipersilakan untuk masuk. Ternyata seminar tidak mempengaruhi aktivitas museum.
Kami disambut oleh Pak Gede. Beliau meminta maaf apabila fasilitas yang disediakan kurang nyaman karena listrik sedang mati di daerah sana. Lampu dan beberapa AC serta pelengkap sederhana lainnya menggunakan genset.
Sebelum masuk ke ruang inti, kami disuguhi oleh sebuah plakat yang ditandatangani oleh Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono. Dan tanggal yang tertera adalah 21 Juli 2009. Itu artinya kami datang tepat satu tahun museum ini diresmikan setelah pemugaran dan perbaikan sana-sini. Salah satu teman kami yang berulangtahun di tanggal yang sama, Riska, mendapatkan souvenir dari Museum BI. Menurut Pak Gede, Museum BI memang sering memberikan souvenir cuma-cuma bagi pengunjung yang memiliki angka cantik, baik hari ulang tahun maupun tiket masuk.
Alur perjalanan kami diawali di bagian uang dimensi, di mana saat ada koin yang ditampilkan di layar kami tangkap lewat bayangan yang kami pantulkan sendiri, secara otomatis di sebela koin tersebut tertera penjelasan tentang apa, kapan, dan di mana koin tersebut digunakan.
Setelah cukup puas, kami disuguhi oleh sebuah ruang teater yang menampilkan tentang sejarah BI dan tetekbengek lain yang berkaitan. Cukup lama juga di sana. Kemudian, kami menuju ruangan yang memuat cerita panjang perjalanan system keuangan di Indonesia. Mulai dari zaman Hindia Belanda, Jepang, hingga alat tukar yang dulu pernah digunakan. Bahkan ada pula sketsa dari bangunan Museum BI itu sendiri dengan beberapa coretan pensil di sana-sini yang menambah kesan klasik.
Kami puas-puaskan untuk berfoto ria sepanjang perjalanan. Ada yang sendiri-sendiri, bareng-bareng, meski tak tahu itu menggunakan kamera punya siapa. Yang penting eksis, prinsip kami saat itu.
Tak terasa, waktu sudah mendekati pukul 14.30. Sebentar lagi kereta menuju Ekonomi AC yang akan kita gunakan untuk mengantarkan kembali ke habitat asal masing-masing. Beberapa ada yang menggunakan busway.
Berbeda dengan keberangkatan tadi, pulangnya kereta lebih jejal oleh penumpang. Beberapa dari kami yang awalnya duduk dengan ikhlas memberikan tempat duduknya bagi orang yang lebih membutuhkan. Lansia dan ibu hamil. Namun, kami tetap nikmati. Berdiri puluhan menit tidak terasa karena bibir yang tak henti menguntai cerita.
Asrama community turun terlebih dahulu di stasiun UI. Sedangkan Rakhmat dan Aji turun di Pocin, biar dekat FKM. Mereka harus membawa motor yang diparkir di parkiran FKM. Yang turun di stasiun UI segera naik bikun yang kebetulan lewat dan masih sangat kosong. Meski harus memutar dulu ke Balairung, FKM, FT, dan di beberapa titik pemberhentian. Saat melewati FKM, terlihat Rakhmat dan Aji sedang berjalan menuju FKM. Sayang mereka tak mendengar sahutan kami.
Bikun terus berjalan. Entah di pemberhentian ke berapa, Sefi dan Irfan Saleh, dua temanku di Ciamis dulu naik bikun juga. Mereka sedang tinggal di UI beberapa waktu untuk mengikuti seleksi SSB.
Sekira sepuluh menit kemudian, tiba juga di asrama. Aku bergegas menuju kamar dan ganti kostum. Pasalnya, aku harus mengikuti lomba tarik tambang mewakili gedung A. Aku hanya telat beberapa menit dan akhirnya hanya bisa menyoraki, memberi semangat, dan menyaksikan kemenangan grup Alfa dalam tarik tambang melawan kelompok lain. Esok harus lebih konsisten waktu lagi! Itu tekadku.









28 Juli 2010 pukul 20.37
ehm.... Belum di bayar ne fotografer Joko alias Noviaji Joko Priono.
Yah.. keduluan adel Ceritanya.. padahal aku cerita juga... ya tak apa2 du versi.. tapi entar aja deh aku.....
oh iya belum ada follow blog Del dari kmu nya.....